Partai Golkar yang beberapa tahun ini dirundung masalah, Mulai 14 Mei hingga 17 Mei 2016 menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Hajatan yang digelar di Pulau Bali dengan biaya miliaran itu dilakukan untuk menyatukan kubu-kubu yang terbelah dengan muara akhir memilih ketua umum. Diharapkan oleh seluruh sesepuh, senior, pengurus dan simpatisan agar ontrang-ontrang yang menimpa partai berlambang pohon beringin itu cepat usai dan Golkar kembali menjadi partai yang besar, rindang, dan tempat bernaung bagi semua.
Sebagai partai yang sudah menempuh perjalanan puluhan tahun, Golkar masih tetap sebagai partai yang menentukan arah politik dan wajah bangsa ini. Golkar merupakan salah satu pilar demokrasi yang ada. Kebesaran Golkar inilah yang membuat partai itu menjadi perhatian banyak pihak, tidak hanya rival namun juga pemerintah.
Bagi rival, Golkar dianggap sebagai partai yang bisa dijadikan kawan, lawan, dan tempat bergantung bagi partai yang lain. Bagi PDIP, Golkar bisa jadi lebih sering menjadi lawan, sedang bagi partai-partai menengah bawah, terutama partai-partai yang berhaluan agama (Islam), Golkar sering dijadikan kawan bahkan tempat bergantung saat koalisi.
Bagi pemerintah, bila Golkar tak memegang kekuasaan maka Golkar berusaha diakomodasi dalam pemerintahan. Tujuan mengakomodasi dalam kekuasaan agar partai yang bercorak warna kuning itu tak membuat ulah atau mengganggu jalannya pemerintah. Namun bila Gollar menyatakan diri sebagai kelompok oposisi atau enggan bergabung dengan pemerintahan maka partai ini akan ‘dikerjain’oleh pemerintah. Golkar dikerjain pemerintah sebab bawah Aburizal Bakrie, Golkar bergabung dalam Koalisi Merah Putih dan bersikap kritis pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Meski Golkar dalam Munaslub kali ini menjadikan hajatan itu sebagai wahana untuk rekonsiliasi bagi dua kubu namun pemerintah tidak berdiam diri. Pemerintah masih bergerilya agar ketua umum terpilih bisa dikendalikan. Bisa dikendalikan agar tidak berbuat macam-macam. Diharapkan ketua umum terpilih membawa Golkar mendukung pemerintah.
Apakah ada ‘intervensi’ pemerintah dalam Munaslub kali ini? Ada, pemerintah masuk dalam Munaslub itu lewat tangan-tangan orang pemerintah yang dulunya sebagai senior dan mantan ketua umum partai itu. Campur tangan itu bisa lewat Menkopolkam Luhut Binsar Panjaitan dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dengan alasan masih tercatat sebagai orang Golkar, mereka berkeliaran di acara itu. Dari Munaslub akan terjadi pertarungan antara calon yang didukung oleh pemerintah dan calon yang murni dari aspirasi anggota.
Terbukti dalam Munaslub tersebut banyak lobby-lobby sehingga Munaslub yang harusnya seru menjadi antiklimaks. Ade Komaruddin yang mampu menghimpun suara sebanyak 173 dan berhak maju dalam Putaran II melawan calon yang lain, Setya Novanto yang sukses meraih 277 suara, ternyata mengundurkan diri. Habislah keseruan itu.
Ade mengundurkan diri tentu atas banyak pertimbangan, bisa karena logistiknya sudah habis, bisa pula karena kuatnya desakan dari pihak-pihak tertentu yang menginginkan agar Golkar tidak kritis kepada pemerintah.
Selepas Munaslub ini, apakah Golkar masih ‘utuh’ atau terbelah lagi, itu juga menjadi suatu hal yang menarik kita tunggu. Pada masa Orde Baru, ketika Presiden Soeharto menjadi Ketua Dewan Pembina, mengalami perpecahan, membelah, atau friksi antaranggota tak mungkin terjadi. Kalaupun ada biasanya cepat diselesaikan. Kuat dan utuh Golkar di masa lalu bisa jadi dikarenakan kharismatik dan kuatnya pengaruh Presiden Soeharto. Hal demikian membuat para kader Golkar tidak berani macam-macam.
Namun begitu kekuasaan Soeharto tumbang, dinamika organisasi yang tertahan dan terpendam itu meledak. Konflik dan kisruh antarfaksi pun terjadi. Pada awal reformasi, Golkar seperti Uni Soviet yang membelah menjadi banyak negara tersendiri. Dalam era reformasi banyak kader Golkar keluar dan membentuk partai tersendiri. Selepas Munaslub Golkar di awal era reformasi, di mana Akbar Tanjung terpilih sebagai ketua umum, menimbulkan kekecewaan dari kubu Edi Sudrajad. Kekecewaan dari anggota Golkar dari kalangan militer inilah yang melahirkan Partai Keadilan dan Persatuan.
Munculnya “Golkar-Golkar” baru semakin masif selepas konvensi calon presiden yang diusung oleh Golkar pada tahun 2004. Dalam konvensi itu diikuti oleh Akbar Tanjung, Wiranto, Surya Paloh, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie. Beberapa tahun selepas konvensi, Prabowo melahirkan Gerindra, Wiranto melahirkan Hanura. Prabowo dan Wiranto membentuk partai bukan dari konflik pasca Munas. Surya Paloh-lah yang membentuk Partai Nasdem pasca Munas di Pekanbaru, Riau, pada tahun 2009. Surya Paloh membentuk partai baru bisa jadi buah dari kekecewaan dari kekalahannya dari Aburizal Bakrie di Munas Pekanbaru.