Pada pekan ini film yang berjudul Bulan Terbelah di Langit Amerika tayang di bioskop-bioskop yang ada di Indonesia. Film yang pengambilan gambarnya di Amerika Serikat ini merupakan sekuel dari film 99 Cahaya di Langit Eropa yang pengambilan gambarnya di negara-negara Eropa seperti Austria, Perancis, Spanyol, dan Turki.
Dengan tayangnya Bulan Terbelah di Langit Amerika, menambah catatan banyaknya film yang diproduksi oleh orang Indonesia yang berlatar luar negeri. Sejak film Ayat-Ayat Cinta yang berlatar negara Mesir yang laris manis di pasar, membikin para pembuat film seolah-olah menyimpulkan bahwa dengan latar luar negeri merupakan magnet yang bisa membuat masyarakat berduyun-duyun menonton film yang diproduksi. Bila masyarakat memenuhi kursi-kursi bioskop maka mereka bisa untung besar.
Dari asumsi inilah maka film yang berlatar luar negeri susul menyusul diproduksi. Film yang berlatar luar negeri itu seperti Assalamu’alaikum Beijing, LDR, Habibie & Ainun, Ketika Cinta Bertasbih, Cinta Selamanya, Merry Meriana: Mimpi Sejuta Dollar, Negeri Van Ronje, Sunshine Becomes You, dan banyak lainnya.
Membuat film dengan latar luar negeri tidak hanya dilakukan oleh orang Indonesia dan bukan hal yang baru. Hollywood dan Bollywood pun sudah sejak lama melakukan hal yang demikian. Kalau kita lihat film produksi Bollywood, banyak dibuat dengan latar negara-negara Eropa terutama di Inggris. Film Hollywood pun demikian, bahkan film Hollywood mengambil latar negara-negara yang ektsrem seperti di negara Amerika Latin dan Afrika.
Kembali ke masalah film dalam negeri, mengapa orang-orang Indonesia sepertinya gemar membuat film dengan latar belakang negara asing? alasannya, pertama, film-film yang berlatar luar negeri itu diadopsi dari novel di mana penulisnya saat membuat novel sedang studi, tinggal, atau jalan-jalan di luar negeri. Suasana dan lingkungan di sana dijadikan latar oleh penulisnya sehingga novel-novel itu menceritakan kisah dan perjalanan hidup di luar negeri.
Dari sinilah tentu pembuat film yang mengadopsi novel untuk mengangkat ke layar lebar harus mengambil gambar di tempat-tempat yang diceritakan dalam novel tersebut. Merry Meriana yang kisah hidupnya dibesarkan di Singapura, tentu filmnya harus berlatar landmark Singapura seperti Merlion. Habiburrahman El Shirazy yang menulis novel Ayat-Ayat Cinta dengan latar Mesir maka filmnya pastinya harus menggambarkan negeri piramida itu.
Kedua, ada rasa gengsi dan wah bila film yang diproduksi berlatar luar negeri. Luar negeri, Eropa dan Amerika, yang dirasa lebih maju, indah, dan landmark-landmark seperti kota tua dan bangunan monumental seperti Menara Eiffel, Colloseum, Patung Liberty, kana-kanal Amsterdam, dirasa mampu memberi rangsangan untuk mengundang masyarakat melihat film tersebut. Bagi sebagaian orang tempat-tempat itu sepertinya mustahil untuk dikunjungi. Untuk itu dalam film-lah mereka bisa menikmati tempat-tempat itu.
Dalam film yang berlatar luar negeri, biasanya tidak hanya ditonjolkan landmark-landmark dunia namun juga memvisualkan suasana kota yang tertib, public transport seperti bus tingkat atau tram yang mana public transport itu di Indonesia tidak ada, serta dinamika masyarakat yang nampak sibuk.Â
Ketiga, ada suasana alam yang beda dengan Indonesia. Suasana alam yang beda inilah yang dirasa mampu membuat film yang berlatar luar negeri dirasa menjadi segar bagi penonton. Suasana alam yang beda itu seperti musim salju, musim semi, musim gugur, musim panas, sungai yang bersih, rumput yang hijau, dan bunga yang berwarna-warni merupakan suasana yang tidak bisa dinikmati di Indonesia. Sehingga dengan melihat film itu maka seolah-olah kita bisa merasakan alam luar negeri yang ada. Masyarakat bisa jadi sudah bosan dengan film-film dalam negeri yang latar suasananya menjenuhkan. Untuk itulah ketika film menawarkan suasana yang baru maka hal demikian bisa menjadi daya tarik sendiri.
Keempat, dengan kemajuan teknologi membuat pengambilan gambar semakin mudah. Dulu membuat film diperlukan banyak perangkat dan berukuran besar sehingga kalau mengambil gambar di tempat umum dan berpindah akan memakan waktu. Perangkat lama itu membuat banyak tenaga dalam pembuatan film. Dengan semakin canggihnya teknologi maka pengambilan gambar bisa dilakukan hanya dengan kamera portable dan ringan, pastinya dengan spesifikasi tertentu.
Pengambilan gambar dengan kamera akan membuat semuanya serba cepat, mudah, dan tidak mengganggu aktivitas orang lain. Bahkan saat pengambilan gambar pun bisa dilakukan tanpa orang lain tahu. Hal demikianlah maka membuat film di luar negeri tidak ribet dari segi perangkat. Ketika pengambilan gambar semakin mudah, maka tenaga yang dibutuhkan juga tidak banyak bahkan hanya bisa satu orang. Dari sinilah maka membuat film di luar negeri tidak mahal bahkan sama dengan biaya membuat film di dalam negeri. Â
Kelima, saat ini banyak Indonesia yang telah melakukan perjalanan wisata ke luar negeri, baik di Asia, Eropa, Australia, Amerika, bahkan Afrika. Dalam wisata itu mereka mengunjungi tempat-tempat yang banyak didatangi orang. Bila ke Singapura pasti semua wisatawan akan pergi ke Merlion. Nah perjalanan mereka akan selalu dikenang dan ketika ada film-film yang menampilkan negara yang pernah dituju, biasanya mereka akan menonton untuk melakukan nostalgia.Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H