Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Salim Kancil dan Demokrasi Kita

7 Oktober 2015   08:41 Diperbarui: 7 Oktober 2015   08:41 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang menimpa aktivis antitambang, Salim Kancil, di Lumajang, Jawa Timur, kalau diselusuri, itu merupakan buah dari upaya kapitalisasi desa yang dilakukan tanpa menggunakan aturan dan buah dari demokratisasi yang tidak sehat. Sebagaimana diketahui bahwa Salim dibunuh oleh sekelompok orang yang dibayar. Pembunuhan itu terjadi karena Salim menolak pertambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar. Sebab apa yang dilakukan Salim itu mengancam usaha dari sang pengelola tambang pasir, pemiliknya adalah kepada desa-nya sendiri, maka Salim diperlakukan seperti yang kita lihat di media massa.

Kalau kita lihat bahwa banyak desa memiliki potensi alam yang sangat menggiurkan. Meski menggiurkan namun potensi yang ada tidak besar atau tidak dilirik oleh pengusaha besar. Besarnya itu sekadar untuk ukuran pengusaha sekelas desa. Potensi inilah yang menjadi rebutan atau penguasaan oleh salah satu pihak di desa. Nah di sinilah orang yang mempunyai kekuatan di desa, entah itu pengusaha atau penguasa tingkat desa, mempunyai peluang yang besar untuk menguasai potensi alam di desa itu.

Nah apa yang terjadi Desa Selok Awar-Awar, potensi alam di desa dikuasai oleh kepala desanya. Dengan menguasai potensi alam yang dimiliki, maka sang kepala desa mampu meraup kapital kekayaan yang melimpah. Tentu sang kepala desa akan berusaha sekuat tenaga agar sumber uang yang dimiliki itu dipertahankan bahkan dikembangkan.

Kepala desa di Desa Selok Awar-Awar dan di tempat yang lain, mempunyai usaha sampingan, bisa jadi dilakukan untuk mengumpulkan harta yang akan digunakan untuk masa tuanya. Bisa pula untuk digunakan sebagai modal pemilihan kepala desa. Bila usaha sampingan yang dimiliki untuk modal dalam pemilihan kepala desa maka di sinilah bahaya yang muncul.

Sebagaimana diketahui pemilihan umum sekarang, entah itu pemilihan anggota DPR/DPRD/DPD, pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, pemilihan kepala desa, tidak dilakukan secara gratis atau cuma-cuma. Semua menggunakan uang untuk merebut pemilih. Uang yang dikeluarkan tidak hanya untuk memberi amplop namun juga biaya-biaya lain, seperti gaji tim sukses, biaya makan, minum, kaos, dan pembangunan infrastruktur atau sumbangan lainnya seperti sumbangan pembangunan tempat ibadah.

Hal demikian membuat pemilihan umum menjadi mahal. Saking bernafsunya untuk menang, uang digelontorkan demikian derasnya sehingga untuk pemilihan kepala desa saja bisa menggeluarkan anggaran sampai miliaran rupiah.

Untuk terpilih menjadi pemenang, tentu tidak semua calon akan menang. Hanya satu orang untuk bisa menjadi kepala desa, bupati, walikota, gubernur, dan presiden. Bila calon menang tentu ia akan senang namun bila calon kalah, ia bisa stress sebab uang sudah digelontorkan demikian banyaknya namun dirinya tidak terpilih. Akibat fatalnya ia bisa gila bahkan meninggal dunia.

Yang menang dalam pemilihan kepala desa, pilkada, dan pilres juga jangan langsung gembira dan merasa tidak stress atau gila. Ancaman serupa juga akan menghadang dirinya. Ancaman tersebut tidak nyata namun ancaman laten. Ancaman laten itu berupa bagaimana ia harus membayar utang yang sudah dikeluarkan untuk mendukung pencalonannya atau berpikir bagaimana harta yang sudah dikuras untuk pemilihan umum bisa kembali bahkan laba.

Untuk menggapai pikiran tersebut, utang lunas dan uangnya kembali, maka kepala desa, kepala daerah bahkan presiden melakukan berbagai cara. Mereka melakukan berbagai cara seperti memberi ijin usaha kepada pengusaha yang mendukungnya, membuka usaha-usaha yang sebetulnya melanggar aturan, dan menguasai pos-pos atau tempat-tempat yang bisa menjadi sumber dana.

Akibat yang demikian maka banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat di tingkat paling bawah mulai dari kepala desa hingga presiden. Kita tahu banyak kepala daerah ditangkap karena melakukan tindak korupsi. Tindak korupsi yang dilakukan seperti berupa pemberian ijin perkebunan, kehutanan, dan pertambangan yang melanggar aturan dan korupsi-korupsi lainnya. Apa yang dilakukan ini pastinya membawa korban tidak hanya kepada manusia namun juga kepada alam.

Jadi apa yang menimpa pada Salim Kancil merupakan salah satu bentuk dari akibat adanya demokratisasi yang tidak sehat. Demokratisasi yang tidak sehat ini buah dari unsur-unsur kapital atau uang yang masuk dalam pemilihan umum. Kita lihat bahwa Kepala Desa Selok Awar-Awar adalah kepala desa yang sudah masuk dalam dua periode pemerintahannya. Tentu untuk menjadi kepala desa, kepala desa tidak hanya mengandalkan jaringan persaudaraan namun juga menggunakan money politic. Money politic dengan money yang bersumber dari usaha tambangnya itulah yang bisa jadi membuat kepala desa gelap mata ketika usahanya diganggu.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun