Menghadapi masalah yang demikian, bisa jadi lagi-lagi ini kembali kepada bagaimana negara memandang perempuan. Di Jerman, peran wanita dan laki-laki adalah setara dan ini dijamin oleh konstitusi. Dari kesetaraan peran inilah maka dalam seluruh bidang apa yang dilakukan laki-laki boleh dilakukan atau diisi oleh wanita. Dengan adanya kesetaraan ini pula maka pembinaan sepakbola di usia dini, antara anak wanita dan laki-laki dijadikan dalam satu pembinaan, karena mereka setara.
Mereka, usia dini, dibina dalam satu wadah, diberi pelatihan-pelatihan dengan porsi yang sama. Penulis pernah melihat bagaimana di klub-klub sepakbola di Jerman, bocah laki-laki dan wanita, berlatih bersama di sebuah lapangan dengan model pembinaan yang sama antara laki-laki dan wanita. Dengan cara seperti itu, badan sepakbola negara tersebut tidak perlu membentuk bidang perempuan atau wanita dalam organisasi sepakbola. Di sini terjadi keefektifan dalam pembinaan dan anggaran.
Sebagai masyarakat yang tak masalah dalam soal kesetaraan, orangtua bocah-bocah wanita itu tak masalah bila anaknya berlatih dalam satu klub dengan bocah laki-laki dan porsi latihan yang sama.
Di masyarakat kita dan di beberapa negara lainnya, pembinaan sepakbola antara wanita dan laki-laki dalam satu klub bisa jadi masih dipandang aneh dan tak sesuai dengan kaidah budaya dan agama. Jadi perkembangan sepakbola wanita, di banyak negara termasuk di Indonesia, masih terkendala dengan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H