Dunia pendidikan kita melebihi seekor keledai, yakni jatuh di lubang yang sama lebih dari dua kali. Setelah berkali-kali buku sekolah dan atau naskah ujian kesusupan unsur pornografi sekarang kesusupan unsur yang bernilai politis.
Sebagaimana kita ketahui dalam Ujian Nasional untuk SMA dan sederajat, dalam naskah mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris termuat soal multichoice tentang Jokowi. Dalam naskah tersebut dipaparkan mengenai kehebatan Jokowi dan pilihan yang disodorkan semuanya menggambarkan perilaku yang memuji-muji mantan Wali Kota Solo yang sekarang dicapreskan oleh PDIP dalam Pilpres tahun ini.
Bagi partai politik yang menjadi rival Jokowi dalam pilpres tentu hal ini diprotes sebab secara langsung mengkampanyekan Jokowi kepada anak-anak SMA yang di mana mereka sudah mempunyai hak pilih dalam pemilu. Soal itu tentu dibaca dan dipikir oleh ribuan anak SMA yang mengikuti ujian sehingga Jokowi masuk dalam otak mereka. Masuknya Jokowi dalam Ujian Nasional tentu akan menambah popularitas kepada pria yang sekarang masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta itu.
Sebagai penanggungjawab Ujian Nasional tentu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang paling bertanggungjawab munculnya Jokowi dalam naskah. Kemunculan Jokowi dalam Ujian Nasional membuat independensi kementerian yang saat ini dipimpin oleh Muhammad Nuh itu dipertanyakan. Di sini kementerian itu harus menginvestigasikan kenapa nama Jokowi muncul dalam soal ujian, apakah karena faktor kesengajaan atau ketelodoran pembuat naskah.
Munculnya hal-hal yang tidak tepat pada buku sekolah atau soal Ujian Nasional bisa jadi disebabkan pembuat buku atau soal ujian melakukan eksperimen tentang sex dan politik yang melingkupi dirinya. Pembuat naskah Ujian Nasional Bahasa Indonesia tahun ini bisa jadi mereka adalah pengagum Jokowi. Berita blusukan Jokowi yang massif di televisi, beberapa bulan yang lalu, telah masuk dalam otak pembuat naskah sehingga setiap saat, entah di kantor, rumah, atau warung kopi, sang pembuat naskah itu selalu bercerita tentang Jokowi. Rupanya kebiasaan ini sengaja atau tidak juga dilakukan saat dirinya melakukan tugas negara yang harus independen, netral, dan tidak SARA, yakni memasukan idolanya itu pada soal Ujian Nasional.
Pun demikian dalam soal unsur sex yang masuk sekolah, bisa jadi pembuat naskah sedang mengalami masalah sexual. Adanya kisah Bang Maman dari Kali Pasir yang bercerita soal istri simpanan yang muncul di lembaran kerja siswa (LKS) anak SD di Jakarta Timur beberapa waktu silam akibat dari pembuat isi buku sedang mengalami masalah sex dalam rumah tangganya sehingga entah sadar atau tidak masalah itu ditumpahkan dalam buku yang setiap hari dipelajari anak-anak di bawah umur itu.
Munculnya bintang porno Jepang, Miyabi, di LKS SMP di Mojokerto, Jawa Timur, bisa jadi pembuat naskah sering menonton film yang dibintangi oleh Miyabi. Mendapat filmnya Miyabi bukanlah hal yang mudah. Di penjual cd bajakan atau di situs-situs porno, acting bintang film yang ditolak kehadirannya di Indonesia itu gampang didapat. Karena seri dari film Miyabi banyak, maka Miyabi sangat popular di kalangan remaja dan kaum pria.
Tidak adanya kontrol yang ketat dalam dunia penerbitan dan tulisan mengakibatkan orang bebas mengeksplorasi dan mengeksploitasi segala hal. Hal demikian bagus-bagus saja untuk menjadikan masyarakat kreatif. Menjadi masalah bila eksplorasi dan eksploitasi itu tidak pada tempat dan waktunya atau bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran. Bila sesuatu tidak pada tempatnya dan tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran maka membuat harapan dari kebebasan untuk menjadi lebih baik menjadi sebaliknya.
Kita tidak tahu apa yang dilakukan oleh officer Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga masalah-masalah yang tidak masuk kurikulum dan bahan ajar bisa menyusup ke buku sekolah dan soal Ujian Nasional. Berarti masalah yang selama telah meresahkan para orangtua siswa tidak pernah dijadikan pelajaran untuk tak terulang lagi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa jadi dalam Ujian Nasional ini terlalu berfokus pada bagaimana distribusi naskah Ujian Nasional tiba tepat pada waktunya di seluruh daerah serta bagaimana peserta ujian bisa lulus 100 persen sehingga lalai pada isi naskah ujian. Pengalaman pada waktu yang lalu di mana naskah ujian datang terlambat di beberapa sekolah serta banyak peserta Ujian Nasional yang tak lulus membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tercoreng.
Fokus pada distribusi naskah dan lulus Ujian Nasional 100 persen membuat kementerian itu tak terlalu memperhatikan isi buku sekolah dan naskah Ujian Nasional. Kesempatan yang demikian dimanfaatkan oleh penulis naskah buku sekolah dan pembuat soal Ujian Nasional untuk melakukan eksperimen pengalaman pribadinya. Masalahnya pengalaman pribadi yang diunggah adalah pengalaman dalam kehidupan sex dan politik. Bila kementerian yang pertama kali dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara itu tak fokus pada isi buku anak sekolah dan naskah Ujian Nasional maka masalah sex dan politik akan kembali menyusup dan menjadi santapan anak-anak sekolah (Pin bb 75E59C24).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H