Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Press Tidak Kritis Kepada Jokowi

8 Januari 2014   21:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:00 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Popularitas Jokowi dalam berbagai survey rupanya menjadi hantu bagi pihak lain yang ingin maju dalam Pemilu Presiden 2014. Meski pemilu presiden belum dilaksanakan namun seolah-olah Jokowi sudah menakut-nakuti pihak tertentu bahwa mereka akan kalah oleh dirinya. Untuk itu gencarnya survey yang menempatkan pria asal Solo, Jawa Tengah, dalam peringkat pertama orang yang paling popular membuat pihak lain berusaha menjegalnya. Jegalan itu seperti Jokowi disebut hanya melakukan pencitraan dengan gaya blusukan-nya. Bahkan rivalnya, Prabowo Subianto dengan melalui Partai Gerindra meminta komitmen PDIP dengan kontrak politik yang sudah ditandatangani pada tahun 2009 di mana PDIP ganti yang mendukung calon dari Partai Gerindra dalam Pemilu Presiden 2014.

Bahasan dan diskusi tak hanya soal survey namuan juga head to head antara Jokowi dengan calon-calon lainnya. Bila calon presiden dari stock lama atau yang disebut lu lagi lu lagi (4 L)  dirasa tidak mampu menandingi maka dicari pihak tertentu yang dikatakan mampu menandinginya.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia memunculkan beberapa tokoh yang dirasa mampu menandingi, saingan berat, Jokowi dalam pemilu presiden. Orang yang dirasa mampu menandingi Jokowi menurut laboratorium itu adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, CEO Trans Corps Chairul Tanjung, dan Ketua KPK Abraham Samad.

Bila partai politik ingin mengalahkan Jokowi dalam pemilu presiden maka ia harus melepas calon presiden yang lama dan mengusung calon presiden yang baru yang mengacu dari survey yang dirilis oleh lembaga yang dipimpin oleh Hamdi Muluk itu. Namun masyarakat dan partai politik, entah dengan dilandasi rasa emosional atau rasional, sudah tidak yakin dengan survey sehingga apa yang dirilis oleh laboratorium itu sebatas dijadikan referensi.

Kalau kita cermati popularitas Jokowi melesat sebab selama ini aktivitasnya selalu disokong oleh media massa. Ke mana Jokowi pergi dan melangkah, awak media massa selalu membuntutinya. Tentu saja kegiatan Jokowi yang disiarkan dan dikabarkan oleh media massa itu dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Dari sinilah nama Jokowi melesat.

Awak media massa meliput Jokowi tentu dengan alasan bad news is god news. Saat menjadi Wali Kota Surakarta, ia mendukung mobil SMK sebagai mobil dinasnya. Sikap ini mendapat kritik Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Pertentangan ini tentu bagi media massa sebagai bad news is good news. Keberpihakan Jokowi kepada produk nasional, yang dikabarkan oleh media massa, tentu akan menjadi point bagi dirinya dari rakyat. Popularitasnya pun meningkat.

Tak hanya itu bad news is good news dari Jokowi. Ketika Bibit Waluyo hendak membongkar sebuah bangunan tua di Solo, Jokowi menolak rencana itu. Dan lagi-lagi pembelaan kepada rakyat kecil itu dikabarkan oleh media massa dan point dari rakyat kepada Jokowi pun bertambah.

Pemberitaan-pemberitaan itu menasional sehingga namanya pun kesohor dan terbukti dalam Pilkada Jakarta 2013, dirinya mampu memenangi. Ketika menjadi Gubernur Jakarta, gaya Jokowi tak berubah. Dan Jakarta sebagai pusat berbagai informasi nasional semakin menguntungkan Jokowi. Membuntuti Jokowi pun semakin massif, setiap pagi disebut banyak wartawan yang menunggu untuk mengikuti ke mana Jokowi blusukan. Massifnya pemberitaan membuat Jokowi semakin berkibar-kibar.

Dari sinilah bisa dipetakan bahwa yang menyohorkan atau mempopularkan Jokowi adalah media massa. Untuk itu yang bisa menandingi Jokowi adalah juga media massa. Harus kita akui selama ini media massa terlalu menyanjung-nyanjung atau memuji-muji Jokowi, tak ada kritik yang pedas dan keras kepada dirinya. Tak kritisnya media massa kepada Jokowi membuat dirinya tercitrakan sebagai kepala daerah yang sukses.

Benarkah Jokowi sebagai kepala daerah yang sukses? Harus diakui bahwa selama Jokowi memimpin Jakarta, memang ada perubahan yang cukup berarti meski tidak seratus persen. Perubahan itu seperti terjadi di Tanah Abang, Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, dan rencana pembangunan MRT. Namun itu semua yang yang nampak di depan mata atau yang tersaji di berita akan tetapi masih banyak sisi-sisi yang tidak terekspos oleh media massa sehingga ketidaksuksesan itu tak terungkap.

Kalau media massa berani kritis kepada Jokowi, popularitasnya tak sehebat saat ini. Lihat saja, di Solo masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh Jokowi. Di Solo jalan yang enak dilewat hanya Jl. Slamet Riyadi, yang lain sama saja, sempit dan jorok serta harus pelan-pelan karena berpapasan dengan kendaraan lainnya. Lalu bagaimana dengan mobil SMK itu? Pun demikian saat memimpin Jakarta, kemacetan, banjir, dan problem sosial masih belum terpecahkan. Di sinilah media massa tak kritis kepada Jokowi. Seharusnya media massa bisa membuat bad news is bad news bagi Jokowi. Bad news is bad news inilah yang bisa menandingi Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun