Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kembali Dagang Sapi

26 September 2014   23:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bila sebelum Pemilu Presiden Jokowi mengatakan koalisi tanpa syarat, tak ada bagi-bagi kursi menteri, dan kabinet ahli, ucapan itu sepertinya menjadi omong kosong. Buktinya, Jokowi dan elit di sekitarnya merayu-rayu partai yang terhimpun dalam Koalisi Merah Putih, rivalnya, untuk bergabung dalam kabinet menteri yang hendak disusun.

Jokowi mengatakan demikian bisa jadi awalnya adalah semangat untuk membangun pemerintahan yang disusun bukan berdasarkan atas praktek dagang sapi. Namun Jokowi mengatakan demikian bisa jadi ia terlalu lugu dalam berpolitik sehingga sebelum Pemilu Presiden selalu mengatakan hal-hal yang lurus atau idealis.

Sebagai orang yang berlatar belakang seorang pengusaha, Jokowi besar bukan karena pendidikan politik yang diberikan oleh partainya. Gaya kerjanya yang blusukan inilah yang mengangkat pamornya. Orang yang selalu mengatakan kerja, kerja, kerja itu memang bisanya bekerja sehingga kesibukan inilah yang membuat dirinya tidak terlalu paham dengan realitas dan strategi politik.

Bisa saja Jokowi ingin idealismenya seperti itu, yakni membentuk kabinet yang diisi oleh para profesional namun para elit di sekilingnya dan realitas politik yang membuat idealismenya itu runtuh. Orang di sekeliling Jokowi bisa jadi memberi masukan kepadanya bahwa Koalisi Merah Putih adalah kubu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bila kubu itu solid maka ia bisa menjadi mimpi buruk bagi Jokowi.

Kekuasaan eksekutif yang dipegang bisa diganggu oleh kekuatan legislatif, di mana Koalisi Merah Putih jumlah kursinya di DPR lebih banyak daripada gabungan partai pendukungnya, yakni PDIP, PKB, Partai Nasdem, dan Hanura. Dari DPR inilah kelak kerja-kerja Jokowi akan ‘dihambat’ dan ‘dipersulit.’

Untuk itu lingkaran elit dan penasehat Jokowi memberi masukan bahwa mereka membutuhkan partai yang terhimpun dalam Koalisi Merah Putih untuk mau bergabung dalam kekuasaan yang disusun. Mereka membutuhkan dukungan tambahan guna untuk memperkuat posisi pemerintahan, di satu sisi. Sedang di sisi yang lain untuk menggembosi Koalisi Merah Putih yang sudah menebar ancaman kepada Jokowi. Tentu partai politik dari Koalisi Merah Putih yang sudi bergabung ke dalam kekuasaan pastinya dengan syarat harus mau mendukung pemerintahan Jokowi.

Mendengar masukan itu, bisa jadi Jokowi baru sadar bahwa inilah dunia politik yang ada kompromi. Tak hanya itu yang membuat Jokowi sadar politik. Adanya ketakutan bila kekuatan di parlemen yang mendukung dirinya lemah maka kinerja dan kekuasaannya tidak aman, juga membuat Jokowi sadar politik. Sebab sudah sadar politik dan dirinya butuh kekuasannya aman 5 tahun ke depan maka dirinya menelan ludahnya sendiri yakni yang selalu mengatakan koalisi tanpa syarat, tak ada bagi-bagi kursi, kabinet ahli, menteri tak boleh rangkap jabatan menjadi ketua partai.

Untuk itulah saat ini Jokowi obral kursi kepada partai yang terhimpun dalama Koalisi Merah Putih. Di sini Jokowi sudah tidak memikirkan menterinya itu bisa bekerja atau tidak. Saat ini yang ada dipikirannya kabinet tersusun dan posisinya aman.

Adanya iming-iming dari Jokowi kepada Koalisi Merah Putih jatah kursi menteri yang disediakan buat mereka, rupanya membuat beberapa partai tergoda, misalnya PAN dan PPP. Tawaran itu seperti air segar di tengah gurun pasir yang tandus. Namun mereka terikat oleh kesepakatan Koalisi Merah Putih yang hendak memposisikan diri sebagai kekuatan oposisi maka mereka yang tergoda itu malu-malu untuk mengatakan iya.

Bagi anggota Koalisi Merah Putih yang tergoda oleh iming-iming tawaran kursi menteri, mereka bisa jadi dilandasi oleh pragmatisme politik dan kekuasaan. Mereka berpandangan berdasarkan pengalaman ternyata oposisi yang dilakukan tidak efektif dan hanya menyisakan kelelahan. Daripada yang demikian mending mereka masuk dalam kekuasaan, selain bisa merasakan nikmatnya kekuasaan juga adanya anggapan dari situlah keberlangsungan partai bisa terus berlanjut.

Partai politik butuh kekuasaan tujuannya banyak. Selain untuk merealisasikan ide-idenya juga untuk mengkapitalisasi modal guna membiayai dirinya. Untuk itu partai politik yang terus berada dalam kekuasaan maka ia memiliki umur yang panjang. PAN dan PPP bila mau menerima tawaran Jokowi untuk masuk dalam susunan kabinet menteri tentu alasannya bukan karena idealisme namun lebih pada pragmatisme, yakni kalau bisa hidup enak mengapa hidup susah namun dengan idealisme yang tergadai. PAN dan PPP sadar bahwa pembiayaan partai itu berat dan mahal sehingga dengan mencelupkan diri dalam kekuasaan maka tujuan pragmatisme itu tercapai.

Di sini, antara Jokowi dan partai dari Koalisi Merah Putih yang mau bergabung ke dalam kekuasaan, terjadi suatu proses yang saling membutuhkan. Kubu Jokowi membutuhkan dukungan tambahan untuk memperkuat posisi kekuasaan, sementara di kubu partai politik yang sudi menerima kursi menteri ingin menikmati kekuasaan. Akibat yang demikian maka ya kembali seperti di atas bahwa politik kita masih dilandasi oleh transaksi dagang sapi, bagi-bagi kekuasaan, dan koalisi dengan syarat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun