Mohon tunggu...
Ardi Wardana
Ardi Wardana Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa/fre

Aku berpikir maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melebur dalam Kasur

21 Juni 2024   21:30 Diperbarui: 21 Juni 2024   21:34 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Keanekaragaman identitas budaya (dalam arti luas) merupakan suatu kenyataan. Di sisi yg lain keanekaragaman identitas budaya mengandung potensi kerawanan. Masyarakat Majemuk (Plural Society) menunjukkan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan sukubangsa. Pluralisme kebudayaan (Cultural Pluralism) menekankan kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat. Tentu saja, setiap  budaya  ingin hidup dengan caranya sendiri; dan memang setiap mata rantai kebudayaan berhak untuk hidup dan berkembang. Masyarakat modern dan terbuka membutuhkan komunikasi (pertemuan, kolaborasi, konflik)  antara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Kesadaran dan kebanggaan terhadap identitas budaya seseorang tidak boleh mengarah pada sikap dan tindakan yang eksklusif, egois, dan angkuh yang dapat mengancam koherensi kehidupan dalam keragaman budaya. Kecenderungan "sangat eksklusif" harus dikelola dan diimbangi dengan semangat "inklusif universal".

 Tak terkecuali mereka yang memiliki status Mahasiswa. Kehidupan dalam ber-Mahasiswa memiliki ragam cerita dan rentetan peristiwa yang membersamai dalam perjalanan intelektual. Kalau mendengar kata "Mahasiswa" pasti yang terlintas dalam pikiranmu adalah mereka yang sedang menuntut ilmu diperguruan tinggi. Nggak salah sih karena memang begitulah realitasnya. Tetapi, sejatinya Mahasiswa itu punya karakter yang nantinya terbagi ke dalam beberapa dimensi ruang dan waktu. Setiap Mahasiswa yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda serta memiliki kebudayaan masing-masing dalam diri setiap Mahasiswa tersebut yang berkumpul dalam satu perguruan tinggi. Dunia perkuliahan bukan Cuma tentang tugas dari dosen atau belajar dalam bangku kelas. Tiap Mahasiswa termasuk kamu bakal merasakan sensasi dunia perkulihan yang berbeda-beda tergantung kamu bagaimana menikmatinya dengan cara apa.

Nahh, saya Ardi Wardana berasal dari Kab. Wajo sebagai penulis ingin membagikan sedikit cerita dan rentetan peristiwa dalam perjalanan intelektual saya di bangku perkuliahan bersama rekan-rekan seperjuangan saya yang tinggal di Pondok syar'I. Kisah ini temani oleh sahabat-sahabat Antropolog saya, kenal saja Andi Muhammad Rizki yang akrab dengan sapaan "pak ustasd" yang representasi orang Bogor sekaligus ia pemilik kamar i.06, ada Iqbal Pamungkas si paling Humas disegala sektor kehidupan yang menjadi representasi orang Pinrang dengan ciri khasnya "suara dan nada bicaranya yang besar" ia sekaligus juga pemilik kamar i.05. Tak ketinggalan pula sahabat Antropolog saya Laden Arissal yang akrab dengan sapaan "priok" ia representasi orang Jakarta. Awal mula ia bergabung dengan kami banyak skeptis tentang laden, yah wajar sih diakan anak Jakarta. Tak lupa pula, kawanku prof Anzar aslinya oang Makassar. Sebenarnya masih banyak yang bersamai tetapi tak saya sebutkan satu-satu. Ditelisik lebih jauh, saya dan mereka tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda yang dibawah kedalam satu ruang dan waktu. Tentu ini singgah dibenak kamu bagaimana bisa melebur yang kemudian menjadi satu diantara keanekaragaman budaya yang dimiliki. Yukk kita kupas sama-sama.

Melting-pot assimilation

Konsep ini dipopulerkan melalui drama karya Zangwill. Dari sudut pandang melting pot, kelahiran "manusia baru" di Amerika ditekankan, sebuah idealisasi perpaduan berbagai budaya  dari Eropa dan Afrika. Melting pot berarti  semacam perpaduan budaya yang berbeda menjadi satu bentuk dalam sebuah kuali. Bahan yang berbeda dalam satu, dari heterogen menjadi homogen. Di sini, setiap bagian adalah proses asimilasi. Misalkan, semuanya memiliki latar belakang karakter yang berbeda-beda. Awalnya mereka berkumpul di pondok syar'I, memulainya dengan perbincangan santai mengenai tugas-tugas yang diberikan oleh dosen dan diskusi-diskusi tentang Antropologi maupun seluk beluk kehidupan dalam berorganisasi di Human. Pola tersebut berulang-ulang terjadi ketika menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama di pondok syar'I. Akhirnya, mereka saling mengetahui terhadap latar belakang masing-masing  dan melebur menjadi satu. Bertukar informasi mengenai asal usul mereka sebelum masuk di kuliah.

Awal mulanya sebelum mengenal tempat itu, saya kenal Iqbal Pamungkas di WhatsApp karena awal-awal perkuliahan semester satu masih pandemi. Pertemuan pertama saya dengannya di acara Human expresi dan berlanjut di program kerja Sakral-Inisiasi 2021. Program kerja tersebut tentunya menjadi wadah pertemuan pertama kita dengan teman-teman yang belum pernah ketemu sama sekali selama dua semester perkuliahan. Seiring berjalannya waktu datang "pak ustads" ke kampus ikut serta kumpul dengan teman-teman yang sudah di Makassar. Kedatangannya Plot twist, pertama kali dia datang ke kampus, helm dia kehilangan helm diparkiran baruga. Singkat cerita, eh Iqbla dan Rizki memutuskan untuk nyewa kamar kost agar katanya bebas dan tidak ingin tinggal bersama keluarga masing-masing.

Salad Bowl

Lain halnya dengan Salad Bowl. Kita sendiri tahu, kalau yang namanya salad, baik itu model ala barat maupun salad versi kita sendiri, akan nampak masing-masing bagian, tapi membentuk satu kesatuan yang bernama salad. Tanpa harus ada peleburan masing-masing bagian. Bener tidak? Biarpun kita masukan salad dressing nya, tetap masing-masing bagian masih berdiri sendiri dan mempunyai peran sendiri-sendiri, tapi membentuk satu kesatuan. Jadi kelihatan warna warni yang indah sekali sekali. Dalam konsepsi ini, mereka akan menampakkan lebih dalam mengenai latar belakangnya. Mulai bercerita masalah percintaan, keluarga, ekonomi sampai pada tahap karakter masing-masing. Menampakkan ragam karakter yang sebelumnya bagi saya pribadi itu hal yang baru yang saya temui dalam lingkaran pertemanan. Pondok syar'I bukan hanya sebagai tempat untuk singgah atau istirahat disela-sela menunggu jadwal perkuliahan berikutnya. Tetapi, pondok syar'I menjadi tempat untuk semuanya membuka diri untuk menceritakan hal-hal yang dialami sepanjang hari. Tempat dengan segala dinamika yang terjadi di dalamnya. Agak canggung sih tapi tak mengapa, tetap dengan prinsip "ada-adaji itu".

Cultural Pluralism

Horace Kallen (1970) memperkenalkan perspektif "cultural pluralism" untuk menggantikan salad bowl. Perspektif ini membedakan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik: ruang terbuka tempat bertemunya orang dari berbagai ikatan budaya. Ruang privat: ruang yang disediakan untuk mewadahi dan merawat spesifikasi ikatan budaya di dalam masing-masing keluarga atau komunitas yang berbeda-beda. Pluralisme budaya adalah istilah yang mengacu pada  pengakuan, penerimaan dan sikap terhadap keragaman atau keragaman kebangsaan seseorang, asal etnis dan latar belakang budaya, yang mencirikan masyarakat majemuk (plural). Pada akhirnya pondok syar'I bukan hanya menjadi milik Iqbal dan Rizki saja. Seiring berjalannya waktu mayoritas laki-laki Mapalus terus berdatangan. Mapalus, sebutan bagi angkatan saya Mahasiswa Antropologi Unhas. Tak terhindarkan dan terbendung pola-pola sebelumnya selalu berulang-ulang. Masing-masing dari mereka semakin tak mencermin karakter awal pertama kali saya kenal mereka.

Multikulturalisme

 Multikulturalisme berarti mengakui realitas keragaman budaya, yang meliputi keragaman tradisional dan keragaman cara hidup. atau subkultur. Bagian dari keragaman tradisional adalah suku, ras dan agama. Sementara itu, keragaman bentuk kehidupan adalah segala sesuatu yang berhubungan dan muncul dalam setiap tahapan sejarah kehidupan manusia di luar keragaman tradisional. Multikulturalisme menjadi pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan budaya yang menekankan pada penerimaan  realitas keagamaan, pluralitas, kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Setelah beberapa semester berjalan, yang pada akhirnya mereka menjadi keluarga dan menjadi saudara satu sama lain. Tak melihat lagi mereka dari mana, tak lagi membedakan minoritas terutama Dhenal yang beragama diluar agama Islam, ia merepresentasi orang Luwu Timur. Tiba pada mereka saling mencela, mencaci maki, saling mengeluarkan kata kata kasar dan lain-lain yang menurut orang lain itu hal yang tabu. Tetapi, mereka tak saling bawa perasaan. Meraka saling bercanda satu sama lain. Tidur satu kamar isinya delapan orang. Ardi yang bukan pemilik kost menjadi raja yang selalu tidur di kasur pemilik kost. Makan bersama dalam satu tempat menjadi hal lumrah. Titik menjadi tingkatan paling tinggi dalam level persahabatan kami. Tak membeda-bedakan apapun dari kami. Tingkat ini menandakan catatan sejarah dalam perjalanan intelektual saya.

Pertemanan yang baik menunjukkan perkembangan konsep diri yang sehat. Aristoteles, Francis Bacon, C.S. Lewis sering menekankan bahwa seseorang harus memperhatikan lingkungan pertemanannya karena itu mencerminkan ciri-ciri kepribadian. Lingkaran persahabatan adalah salah satu rumah di mana Anda dapat menemukan kedamaian dan merasa diterima. Selain dukungan, sahabat memberikan dukungan yang membuat seseorang mampu menghadapi dinamika dan permasalahan hidupnya. Layaknya keluarga, sahabat adalah tempat berbagi, dimana seseorang bahkan menunjukkan identitas yang tidak mereka tunjukkan di tempat lain. Aristoteles membedakan tiga jenis teman: mereka yang berguna, mereka yang menyenangkan, dan mereka yang tulus. Menurutnya, sahabat yang tulus adalah yang terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun