Mohon tunggu...
Ardiansyah Michwan
Ardiansyah Michwan Mohon Tunggu... -

belajar, bekerja, dan bermain. saat ini berdomisili di Sendai, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memperbaiki Kemasan Pangan; Mengapa Tidak?

9 Januari 2010   02:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:33 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saat pulang mudik dari Bogor beberapa waktu lalu, seperti biasanya saya selalu menyempatkan untuk membeli oleh-oleh/buah tangan atau di Jepang dikenal dengan nama omiyage. Omiyage yang saya bawa biasanya adalah makanan-makanan tradisional khas Bogor dan sekitarnya.

Seperti umumnya setiap orang yang diberi hadiah akan senang sekali, demikian pula dengan teman-teman saya di lab yang mayoritas adalah orang Jepang. Berbagai komentar selalu mereka layangkan, seperti nama makanan dan bahan-bahan dasarnya, cara pengolahan, rasa, penampilan, harga, dan industri yang memproduksi makanan tersebut.

Hal yang sering mereka keluhkan adalah soal penampilan (kemasan dan label). Menurut mereka, soal rasa sebetulnya tidak masalah dan bersifat relatif, artinya bisa enak atau tidak enak. Kemasan produk olahan kita masih kalah jauh jika dibandingkan dengan kemasan-kemasan produk olahan yang ada di Jepang. Kalah dari aspek penampilan seperti, kombinasi warna yang dipilih, jenis bahan kemasan, dan pelabelan. Seperti diketahui bahwa penampilan produk-produk olahan makanan di Jepang memiliki daya tarik tersendiri. Pengalaman penulis sering tergoda dengan penampilan kemasan ini, sehingga meningkatkan rasa ingin tahu dan mencoba mencicipi rasanya.

Baru kali ini saya mendapatkan tanggapan berbeda dari teman-teman di lab. Omiyage yang saya bawa sekarang lebih baik kemasannya imbuh mereka. Makanan yang saya bawa adalah keripik singkong produksi salah satu industri rumah tangga (IRT) di Bogor. Teman-teman saya berpendapat bahwa dari segi rasa dan penampilan sebetulnya produk ini tidak kalah jika mau dibandingkan dengan makanan-makanan olahan yang ada di Jepang.

Ada sedikit kebanggaan juga akhirnya, setelah beberapa kali membawa omiyage yang selalu "ala kadarnya" dari aspek penampilan atau kemasan. Seperti diketahui bersama bahwa secara umum kendala yang dimiliki oleh IRT adalah dalam hal kemasan, seperti pelabelan, desain, pemilihan warna, dan sebagainya. Dalam salah satu diskusi dengan teman-teman Indonesia yang di Jepang ini terungkap adanya keluhan-keluhan yang sama dengan rekan-rekan di lab saya tentang mutu kemasan produk-produk olahan makanan tradisional kita.

Setidaknya keripik yang diproduksi oleh IRT ini, sedikit banyak memberikan bukti jika memang dengan memperbaki kualitas kemasan dapat meningkatkan pangsa pasar, mengapa aspek kemasan tidak mendapat perhatian serius semua pihak. Kombinasi warna (hijau, kuning, dan merah) paling tidak dapat memberikan kesan yang menarik pada keripik ini. Label kemasan juga telah tersedia, meliputi informasi gizi, bahan pembuat keripik, tanggal kadaluarsa, berat bersih, barcode, dan informasi kehalalan (yang ditunjukkan dengan label halal).

Tentang kehalalan menarik untuk dicermati, karena hal ini juga yang menjadi pertanyaan rekan-rekan saya di lab. Sedikit penulis jelaskan apa itu label halal dan sistem sertifikasi di Indonesia akhirnya rekan-rekan saya dapat memaklumi adanya label halal yang ada di kemasan tersebut. Sepertinya manajemen IRT ini sudah menyadari aspek kehalalan dengan mencantumkan label halal yang menjadi prioritas utama pada produk-produk dengan konsumen sebagian besar adalah muslim.

Sedikit yang membuat agak menggelitik penulis dan juga beberapa rekan di lab. Pencantuman tulisan "no cholesterol", padahal sebetulnya memang tidak ada kolesterol pada produk ini. Bahan baku utamanya juga berasal dari bahan nabati (singkong) dan bahan-bahan tambahan semuanya berbahan baku nabati. Minyak yang digunakan untuk menggoreng juga berasal dari minyak nabati, jadi mengapa ada tulisan "no cholesterol" ada pada kemasan tersebut.

Menurut penulis, seharusnya produsen mengetahui, bahwa kolesterol adalah berasal dari hewani bukan dari nabati, sehingga tidak ada alasan klaim produk mereka "no cholesterol", karena memang kenyataannya memang demikian.

Hal ini perlu kita dicermati, karena semestinya tetap mengacu kepada prinsip "benar dan tidak menyesatkan". Benar saja tidak cukup, tapi harus juga tidak menyesatkan. Pihak pemasaran sudah semestinya tidak sekedar "menjual sesuatu yang tidak/sulit dijual", tetapi harus mulai bergeser ke science-based marketing. Memberikan pelajaran atau penerangan kepada masyarakat lewat label kemasan/iklan/reklame yang ditampilkan merupakan suatu keharusan yang perlu ditekankan pada produsen.

Akhirnya industri pangan perlu menyadari dan mengambil peran penting dalam membentuk atau membina pola dan kebiasaan konsumsi yang baik bagi masyarakat. Peran strategis industri pangan ini dimulai dari jenis dan kualitas produk yang ditawarkan sampai kepada cara penawaran atau promosinya. Perlu ditekankan bahwa melalui kegiatan promosi yang didukung oleh dana yang besar, industri pangan mempunyai kekuatan yang besar pula untuk mempengaruhi (secara positif atau negatif) status gizi dan kesehatan masyarakat umum. Informasi benar dan tidak menyesatkan diharapkan akan dapat mempengaruhi pola pikir dan pola konsumsi masyarakat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun