Pukul 5 sore kami sampai di Pos empat, di perbatasan antara hutan belantara dengan padang savana. Di Pos ini kami mendirikan tenda untuk bermalam dan mengisi kembali tenaga serta melakukan segala persiapan untuk "summit attack" pada esok dini hari. Pukul 03.00 kami memulai melakukan perjalanan menembus padang savana nan luas Gunung Tambora. Berbekal headlamp kami berjalan beriringin menyusuri malam, tak ada pemandangan apa-apa saat itu, yang ada hanya gelap malam yang sunyi serta suara angin yang berbisik melalui rumput-rumput.Â
Dua jam berikutnya, Matahari mulai menampakan rupanya lewat langit yang mulai berubah kemerah-merahan, saat itu kami tepat berada di punggung Gunung Tambora. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan luas padang savana Gunung Tambora yang samar-samar mulai terlihat. Dari kejauhan, nampak pula Pulau Moyo dan Pulau Satonda di bagian baratnya. Bibir kaldera Gunung Tambora sudah mulai menampakan dirinya, menganga bak mulut harimau yang siap memakan mangsanya.Â
Namun tenang saja, Gunung Tambora saat ini tak seganas dulu yang membuat ratusan ribu orang meninggal akibat letusannya pada 10 April 1815. Saat ini Gunung Tambora begitu ramah kepada siapa pun yang datang maupun tinggal di sekitarnya, pesona alamnya, kandungan sumber daya alamnya telah mampu memberi hidup ratusan ribu masyarakat disekitarnya hingga sekarang.
Dengan langka yang sudah sangat tertatih, karena sedari jam tiga pagi tadi menyusuri lembah padang savana Gunung Tambora, jam 8 kurang 15 menit kami tepat sampai di puncaknya. Rasa lelah yang selama kurang lebih 24 jam ini kami rasakan seolah-olah langsung hilang begitu saja, lenyap dibawa angin-angin sepoy Gunung Tambora.Â
Kaldera yang diameternya mencapai 9 km lebih itu menjawab semangat kami, semangat yang begitu membara untuk sekeder duduk bersamanya. Tak menunggu lama, Bendera Merah Putih sepanjang 203 meter yang kami bawa dari awal pendakian pun kami betangkan menyusuri bibir kaldera Gunung Tambora. Lagu Indonesia Raya berkumdangan dengan syahdu menyambut bentangan gagah Merah Putih itu. Tak ada yang bisa berkata-kata, hanya rasa syukur dalam hati yang bisa kami ucapkan sebagai bentuk terima kasih dari apa yang telah kami lakukan pagi itu.Â
10 April 1815 Gunung Tambora meletus dengan dahsyatnya. Gunung yang tingginya mencapai 4000 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu terpangkas hampir setengahnya!, dan kini tingginya hanya 2.850 mdpl. Tiga Kerajaan di kaki Gunung Tambora, yakni Pekat, Sanggar dan Tambora langsung hilang dalam sekejap. Suara letusannya terdengar hingga pulau Jawa dan Sumatra.
Bahkan negara-negara di Eropa tidak terlihat matahari selama 1 bulan lebih, sehingga tahun meletusnya Gunung Tambora pun terkenal dengan julukan "Tahun Tanpa Matahari". Tak ayal, letusan Gunung Tambora merupakan letusan Gunung Berapi terdahsyat sepanjang sejarah peradaban modern.
Dan kini, 203 tahun setelahnya, kami berbondong-bondong menuju Puncak Gunung Tambora, membentangkan bendera Merah Putih sepanjang 203 meter menyusuri bibir kalderanya. Tidak ada niat dari kami untuk sombong, untuk memamerkan bahwa kami telah berhasil mencapai puncak Gunung Tambora.
Niat kami hanya satu, yakni untuk menunjukan rasa bangga kami akan keperkasaan yang ditunjukan oleh Gunung Tambora, akan berjuta-berjuta manfaat yang diberi oleh gunung ini. Merah Putih sepanjang 203 meter yang kami bentangkan ini harapannya bisa menjadi simbol sekaligus ikrar kami untuk selalu menjaga kelestarian Gunung Tambora, sampai kapan pun!!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H