Pada 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara.Â
Jika kita menyoroti beberapa tahun terakhir, kebutuhan pendanaan negara semakin meningkat, terutama setelah pandemi covid-19. Jadi kenaikan PPN ini merupakan upaya untuk memperbaiki anggaran pemerintah. Namun, kebijakan ini banyak memicu pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk ekonom, pengusaha, dan masyarakat umum.
Dampak Ekonomi yang Dikhawatirkan
Kenaikan tarif PPN akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa yang berpotensi memicu inflasi. Barang-barang seperti barang elektronik, pakaian, tanah dan bangunan, perabot rumah tangga, makanan olahan yang diproduksi kemasan, serta kendaraan bermotor diperkirakan akan mengalami penambahan harga akibat kenaikan PPN.
 Selain itu, jasa layanan streaming musik dan film juga menjadi target pengenaan PPN. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN ini diperkirakan menambah beban pengeluaran kelompok masyarakat, di mana kelompok miskin diperkirakan akan mengalami tambahan pengeluaran sekitar Rp 101.880 per bulan, sementara kelompok menengah mengalami kenaikan hingga Rp 354.293 per bulan.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan kebijakan ini dapat meningkatkan inflasi hingga 9%. Dampaknya berpotensi menggerus daya beli masyarakat, terutama di tengah kondisi perekonomian yang sudah tertekan akibat inflasi dan stagnasi pertumbuhan.Â
Penurunan daya beli dapat menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga hingga 0,37%, yang setara dengan Rp 40,68 triliun. Hal ini berpotensi memperlambat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 1,07% dan menciptakan siklus negatif yang sulit diputus.
Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, mengungkapkan bahwa melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak signifikan pada perlambatan konsumsi nasional. Hal ini berisiko memicu peningkatan angka pengangguran, karena pelaku usaha kemungkinan besar harus mengurangi produksi akibat menurunnya permintaan pasar.
Penundaan Penerapan Peningkatan PPN
Kebijakan ini memunculkan dilema di tengah masyarakat. Beberapa pihak, termasuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, ia mengusulkan agar pemerintah menunda pelaksanaan kebijakan ini. Ketua Umum Kadin, Arsjad Rasjid, menyatakan bahwa kondisi ekonomi saat ini belum ideal untuk kenaikan pajak, mengingat lemahnya daya beli masyarakat dan tekanan biaya hidup akibat inflasi.