Mohon tunggu...
Ardita Da'imah C
Ardita Da'imah C Mohon Tunggu... -

Allah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Ulasan) Hujan Bulan Juni

24 Februari 2018   21:52 Diperbarui: 26 Februari 2018   17:46 4687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bab tiga, sayangnya, Pingkan harus melanjutkan kuliah di Jepang. Ia dikirim dari kampusnya dan mengikuti perintah Prodinya. Sarwono menjadi gelisah dan sedih ketika mengetahui bahwa Katsuo telah menjadi dosen di Universitas Kyoto yang akan menjadi tempat Pingkan melanjutkan belajarnya. "Wa...dari Pingkan disertai selfi bersama Sensei dan masya Allah, Sontoloyo Jepang itu di antrian taksi bandara." (Hal. 103). 

Katsuo adalah mahasiswa cerdas dari Jepang yang dulu pernah Pingkan sukai. Itulah sebabnya Sarwono tidak terlalu suka dengan Katsuo sehingga ia memanggilnya Sontoloyo Jepang. Kutipan tersebut menunjukkan adanya kekhawatiran dari Sarwono terhadap Pingkan yang bisa saja jatuh ke hati Katsuo.

Di akhir bab, Sarwono tergeletak di rumah sakit karena mengidap paru-paru basah. Lalu Bu Hadi yakni ibunya Sarwono memberikan koran terbitan lama kepada Pingkan. "Sangat hati-hati Pingkan membuka lipatan itu dan segera dilihatnya tiga buah sajak pendek di salah satu sudut halamannya." (Hal.130).

Novel ini memiliki latar sosial tentang perbedaan keyakinan dan suku antara Islam dan Katolik dan  antara Jawa dan Minahasa. "Konon, di Makassar perempuan pendatang dari Jawa pernah dikaitkan dengan profesi yang..." (Hal.23).Kutipan tersebut merupakan salah satu kepercayaan bagi orang Makassar yang ditambahkan di dalam novel ini sebagai bukti keberagaman budaya di Indonesia. 

Selain itu juga terdapat fakta tentang kebiasaan suku Jawa yang mungkin sampai sekarang masih terjadi, terdapat dalam kutipan, " ....menganggap bahwa diam, bagi orang Jawa, berarti 'ya' atau 'mau'- pokoknya positif." (Hal. 23). Melalui penggalan tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri khas orang Jawa dalam menyetujui sesuatu seperti pinangan adalah diam. Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga serba tahu. Sudut pandang ini memang digunakan dari awal hingga akhir cerita seperti dalam penggalan berikut, "...yang ada di kepala Sarwono hanya satu...". (Hal. 01)

Subjektivitas Sapardi dalam novel ini dapat terlihat dari gaya penulisannya yang tidak terlalu sulit untuk dipahami oleh orang-orang yang pemula dalam menafsirkan karya sastra. Dalam tulisan Sapardi memang selalu terdapat pengistilahan rasa yang tak bisa diungkapkan melalui kata-kata tersurat. Banyak makna yang tersirat dalam setiap perkataan tokoh yang digambarkan Sapardi dalam novel ini yang membuatnya menjadi lebih menarik. Diksi dan gaya bahasa yang digunakan pun indah, sederhana, ringan, dan menyentuh hati, seperti, "... di langit-langit tempurung kepalaku terbit silau cahayamu dalam intiku kau terbenam.. kau terpencil dalam diriku." (Hal. 133). 

Dengan melihat puisi-pusi nya yang ada di novel ini dapat memperlihatkan bahwa Sapardi banyak terinspirasi oleh alam, seperti hujan, langit, daun, dan bunga dalam memajaskan puisinya. Selain itu psikologi atau keahlian pemikiran Sapardi dalam mengangkat suatu problematika kehidupan sangat dekat dengan permasalahan yang sering terjadi dalam hidup ini. Isu perbedaan agama dan suku dalam percintaan sering dijumpai dan sulit untuk diakhiri.

 Sapardi menganggap bahwa perasaan adalah fitrah dan tidak bisa dipaksa untuk beradaptasi dengan kebudayaan dan keyakinan. Secara keseluruhan novel ini sudah sangat bagus dilihat dari segi apapun kecuali akhir cerita yang masih menggantung. "Demikianlah maka Surat Takdir pun dibaca berulang kali tanpa ada yang mampu mendengarnya." (Hal. 130). Penggalan kalimat terakhir dalam novel ini menunjukkan tidak ada kepastian tentang kelanjutan hubungan Sarwono dan Pingkan. Kesuksesan Sapardi pada lensa seni Indonesia berawal dari kesukaannya menulis puisi saat masih berumur 13 tahun. Beliau tumbuh melalui pendidikan seni sastra hingga tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun