Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan di Indonesia, seperti isi “Sumpah Pemuda” yang ketiga “Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”.
Sebagai remaja, saya sangat prihatin dengan teman-teman yang sering mencampur-adukkan bahasa, layaknya mencampur bumbu masakan. Semakin dicampur, semakin enak pula rasanya. Padahal hal ini sangat bertolak-belakang dengan kenyataan yang dibuktikan dengan lebih tingginya nilai Bahasa Inggris daripada nilai Bahasa Indonesia.
Banyak dari kita yang belum sadar dengan penjajahan sepert ini. Mereka lebih mementingkan gaya, gaul,dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah ketika saya bertanya “menu makan siang hari ini apa?” mereka menjawab dengan santainya “chicken”.
Bahasa Indonesia juga dapat menyatukan perbedaan-perbedaan bahasa yang ada di Indonesia. Misalnya kata “jangan” di Jawa dan Sunda maknanya berbeda. Kalau di Jawa kata “jangan” berarti sayur, sedangkan di Sunda kata “jangan” berarti tidak boleh dilakukan. Itu merupakan satu kata yang sangat rentan dan bisa menimbulkan ketidaknyamanan terhadap orang salah mengerti.
Contoh pengaplikasian kata “jangan” adalah ketika orang Sunda bepergian ke Jawa, kemudian orang Sunda tersebut mampir ke warung pinggir jalan untuk makan. Kemudian orang Sunda bertanya “ini namanya apa mas?”. “oh, itu namanya jangan sop”. “kalau yang ini apa mas?”. “itu jangan kelor mas”.
Sebagai remaja, mari kita junjung tinggi Bahasa Persatuan yakni, Bahasa Indonesia seperti yang tercantum pada “Sumpah Pemuda”. Mari kita hargai para pahlawan yang telah memperjuangkan negara ini dengan cara belajar Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H