Mohon tunggu...
Ardissa Lathifah
Ardissa Lathifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswi dan pembelajar abadi

Saya aktif menyelaraskan pikiran dengan fotografi ataupun videografi, menyukai seni, dan tidak pernah lelah untuk menjelajah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Sejarah Berseragam: Dominasi Pemimpin terhadap Sejarah

16 November 2022   06:03 Diperbarui: 26 November 2022   22:33 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku ini terdiri atas 459 halaman dengan 27 halaman awal buku yang berisi pengantar penerbit, ucapan terima kasih,  prakata, dan kata pengantar. Penulis menjelaskan kajiannya secara kronologis dengan menghadirkan bab khusus pendahuluan disertai enam bab pendukung dimana setiap babnya memiliki sub pembahasan tersendiri. Pada bab pendahuluan, penulis menjelaskan dalam empat sub topik seperti kerangka konseptual dan sumber, menganalisis gambaran-gambaran tentang masa lalu, gambaran-gambaran tentang sejarah Indonesia: pembuat dan audiensnya, dan yang terakhir membahas tentang susunan buku. Pada bab pendahuluan, penulis menggambarkan militer sebagai pihak yang membuat gambaran dengan sengaja mengenai masa lalu Indonesia. Beberapa sumber sejarah layaknya museum, diorama, monumen, buku pelajaran, dan hari-hari besar yang diperingati tiap tahunnya ialah bentuk konkrit adanya hal tersebut.

Menginjak pada bab pertama buku dengan judul "Sejarah dalam Pengabdian Kepada Rezim yang Otoriter", pembahasan mulai mengerucut pada penulisan sejarah atau historiografi Indonesia yang ditulis atas kuasa para pemimpin. Sejarah ditulis pada batasan-batasan tertentu sehingga tulisan bergerak sesuai arah yang mereka inginkan terhadap Indonesia kedepannya. Jika ingin berfokus pada kajian mengenai historiografi rezim orde baru, tentu diperlukan sebuah pembanding untuk mengungkap ciri khasnya. Hal yang cukup menarik ketika penulis membandingkan bagaimana historiografi pada era demokrasi terpimpin (orde lama) dengan historiografi orde baru yang pada dasarnya berada pada inti jalan yang sama namun terdapat beberapa elemen pembeda.  Historiografi pada era demokrasi terpimpin memanglah sangat sedikit jumlahnya dan di sini penulis ingin mengisi kelangkaan tersebut dengan mencermati berbagai sumber sejarah yang ada. Dua diantaranya ialah Museum Sejarah Monumen Nasional dan karya khas militer seperti Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata Bangsa Indonesia. Dari pengamatan tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa sejarah lebih berfokus pada gerakan nasionalisme, sosialisme, juga bahasan mengenai bagaimana demokrasi itu, kemudian peran ABRI dalam revolusi.

Berbeda dengan historiografi pada masa orde baru yang menghasilkan lebih banyak sumber sejarah karena periode jabatan yang lebih lama. Namun garis besar historiografi masih tetap terbelenggu akan kebutuhan ideologis negara. Banyak ahli sejarah yang dituntut karena memproyeksikan rezim dengan kebenaran yang berbeda dari apa yang ditulis. Pun terdapat batas-batas yang diizinkan untuk menginvestigasi, buku-buku baik dalam negeri maupun luar negeri tidak diterbitkan karena membahas hal yang bertentangan dengan historiografi orde baru ini. Elemen yang menarik untuk dibahas ialah ketika penulis memberikan Nugroho Susanto sebagai contoh. Beliau ialah Kepala Pusat Sejarah ABRI, yang diangkat oleh Presiden Soeharto kala itu, dengan tugas sebagai pengawas representasi masa lalu sejarah nasional di dalam Museum Sejarah Monumen Nasional. Dari beberapa hal yang disebutkan di atas, sebenarnya telah terlihat bagaimana sejarah ditulis kala itu dimana pemimpin juga ikut mendominasi.

Pada bab kedua, penulis membahas lebih lanjut bagaimana alur seorang Nugroho Susanto sebagai seseorang yang begitu sibuk dimana memegang beberapa jabatan penting di Indonesia. Beliau menjadi seorang Kepala Pusat Sejarah ABRI pada tahun 1965 hingga 1985, kemudian ditunjuk pula menjadi Menteri Pendidikan kala itu. Peran Nugroho tidak sampai disitu, beliau juga memproduksi dan mengkonsolidasi terbitan versi resmi usaha kudeta 1965 yang menjadi dasar legitimasi rezim orde baru, beliau juga membantu menyebarluaskan kepahlawanan militer Indonesia melalui museum, doku-drama, dan di dalam buku-buku pelajaran. Pada bab ini, penulis menyingkap bagaimana jejak karir dan pengalaman seorang Nugroho semasa kecil hingga menjadi ahli sejarah militer. Sekitar tahun 1950, Nugroho menerbitkan surat yang dimuat dalam Kompas. Surat kabar tersebut ditujukan bagi mantan anggota Tentara Pelajar, sebuah organisasi militer bentukan Jepang PETA.

Di bab berikutnya, yakni bab ketiga, penulis mengkaji lebih lanjut mengenai sejarah yang digunakan untuk membela rezim orde baru.  Lagi-lagi nama Nugroho tidak dapat lolos dalam pembahasan penulis. Beliau dan Pusat Sejarah ABRI melahirkan terbitan pertama versi kisah usaha kudeta, yaitu 40 Hari Kegagalan "G-30-S" 1 Oktober-10 November, yang sebagian besar berisi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan untuk membuktikan bahwa usaha kudeta ialah persekongkolan komunis. Dari penerbitan tersebut, penulis juga memaparkan bahwa Nugroho dan timnya bekerja keras untuk menyelesaikan buku pada Desember 1965. Di lain sisi, Nugroho juga bergabung sebagai pembantu rektor di Universitas Indonesia, dari sanalah ia membentuk suatu orde politik hingga mengorganisasi demonstrasi massa mahasiswa di tahun 1966 dimana emonstrasi tersebutlah yang membantu dalam pembubaran PKI.

Cara militer dalam menggambarkan sejarah memiliki ruang yang seakan-akan terputus dengan kenyataannya. Hal ini dibahas lebih lanjut pada bab keempat dimana memiliki delapan sub pembahasan, mulai dari pembangunan citra ABRI  hingga merembet pada nama Jenderal Sudirman beserta taktik perang gerilyanya. Pada dekade pertama masa orde baru, militer Indonesia berusaha untuk memupuk erat rasa kekeluargaan dengan nilai-nilai yang konsisten, namun tetap tidak terlepas pada peran Pusat Sejarah ABRI yang berusaha memutar gambaran perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949 dimana militer berperan di sana. Hingga kemudian terdapat seminar 1972 yang memuat bahwa perjuangan bersenjata (militer) lebih banyak ditekankan. Tidak hanya itu, romantisir perjalanan perang gerilya oleh Jenderal Sudirman juga dilakukan setiap tahunnya di Akademi Militer Magelang pada setiap taruna baru sehingga mereka dapat meresapi lebih dalam terkait peran militer.

Sejalan dengan hal tersebut, proyek-proyek sejarah yang digarap merupakan ajang untuk mempromosikan militer dan dwifungsi ABRI kepada masyarakat sipil. Proyek tersebut dijelaskan pada bab berikutnya, yakni bab kelima. Pada bab ini, proyek sejarah diselipkan pada teks-teks sejarah maupun buku pelajaran Pendidikan Sejarah yang isinya diawasi oleh Nugroho Notosusanto. Kemudian, peran militer juga hadir ketika menyaksikan film-film bergenre sejarah layaknya film revolusi yang memuat citra baik militer di masa lalu yang sebenarnya dibesar-besarkan. Bahkan beberapa ilmuwan merasa bahwa fakta-fakta sejarah telah dimanipulasi pada versi sejarah kontemporer tersebut. Peran Nugroho Notosusanto dalam mempromosikan nilai-nilai militer melalui sejarah kepada dilatarbelakangi oleh keyakinannya terhadap sejarah yang akan memberi inspirasi kepada rakyat atau masyarakat sipil guna berperan pada pembangunan nasional. Hingga akhir hayatnya, Nugroho menjadi orang yang begitu berpengaruh dengan memegang teguh prinsip bahwa militer ialah pemandu bangsa yang paling baik.

Sepeninggal Nugroho, Jenderal Benny Murdani memberikan sumbangsihnya terhadap Pusat Sejarah ABRI dengan membangun dua museum pada pertengahan tahun 1980, satu diantaranya ialah Museum Keprajuritan Nasional. Hal ini dijelaskan runtut pada bab keenam dimana museum tersebut awalnya digagas oleh Ibu Tien Soeharto, yakni istri dari Presiden Soeharto. Mulanya, beliau menginginkan agar Nugroho merancang sebuah museum militer yang menonjolkan sejarah keprajuritan nasional. Nantinya, museum tersebut akan menjadi bagian dari integral proyeknya yang begitu kontroversial, yaitu Taman Mini Indonesia Indah. Beralih dari satu museum, proyek sejarah berskala besar selanjutnya  tetap berpacu pada tema-tema militer dengan kurun waktu peralihan ke masa orde baru, seperti dua museum baru lainnya, Museum Waspada Purbawisesa dan Museum Pengkhianatan PKI. Museum tersebut menampilkan begitu gagahnya peran militer dalam melindungi Pancasila dari ancaman-ancaman ideologi layaknya ekstrim kanan dan ekstrim kiri.

Museum Waspada Purbawisesa yang condong pada ekstrim kanan, menekankan pada teror Darul Islam dan peristiwa kelompok Islam lainnya  pada tahun 1970 hingga 1980. Namun, museum ini kehilangan relevansinya karena diterimanya asas tunggal yang membuat Presiden Suharto merehabilitasi Islam politik. Di sisi yang lain, terdapat kudeta yang dilakukan oleh ekstrim kiri, yaitu PKI. Hal ini dimuat pada Museum Pengkhianatan PKI dimana museum ini memperlihatkan secara rinci mengenai tindakan-tindakan kejam nan berdarah yang dilakukan para komunis. Museum ini merupakan serangkaian diorama yang mencakup peristiwa G30S PKI di Madiun dan juga kudeta tahun 1965 sebagai prolognya. Militer ingin menegaskan bahwa ancaman komunis bersifat siklis. Adegan atau tindakan lain yang diperlihatkan ialah persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa tahun 1966 yang digelar pasca-kudeta. Diorama menampilkan anggota Politbiro PKI, Nyono, dan juga Kepala Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, di hadapan hakim militer dan para hadirin. Diorama tersebut berusaha menampilkan norma hukum yang begitu patuh di era orde baru. Namun, kembali lagi pada tujuan awal bahwa dibangunnya kedua museum tersebut seperti mengabadikan bahwa bangsa yang rapuh memerlukan militer yang kuat didalamnya.

Pembahasan yang begitu spesifik dan selalu berulang mengenai peran militer dalam penulisan sejarah Indonesia pada masa orde baru begitu menghiasi isi buku ini dari awal hingga akhir. Berbekal sumber-sumber sejarah yang digunakan, penulis mampu menjelaskan secara detail terkait apa yang ingin ia buktikan. Bagaikan sejarah yang menggunakan seragam, maka penulis dapat mengidentifikasi bagaimana bahan yang digunakan dalam membuat seragam tersebut. Dari sisi pemilihan kata pun cukup mudah dipahami bagi pembaca awam. Hanya saja perlu diakui bahwa terdapat beberapa kosakata yang asing. Namun, perlu diperhatikan bahwa buku ini akan membawa pembaca pada satu jalan dengan satu tujuan pula, maka diharapkan pembaca bijak dalam menyikapinya. Layaknya kedua sisi uang koin, jika salah satu ditutup, maka hanya satu sisi yang terlihat, walaupun sebenarnya masih ada satu sisi lain yang perlu diungkap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun