Suatu sore pada bulan Desember 2016, aku menuruni anak tangga asrama dengan wajah yang masih gembira. Baru saja, di lantai dua, aku bercengkrama dengan teman-teman asrama. Berbicara seadanya, tak peduli apa topiknya. Beban pikiran entah kami tinggalkan di mana. Apalagi perasaan, sepertinya selalu lupa kami bawa saat berkumpul bersama. Penuh tawa. Tanpa ada seorangpun yang merasa terluka.
Hari itu aku libur kerja. Usai bercengkrama dengan teman-teman asrama, rasanya terlalu terburu-buru jika aku harus pulang begitu saja. Sampai di teras lantai dasar, aku melihat bapak asrama sedang duduk santai di halaman depan rumahnya. Masih di area asrama. Aku pun memutuskan untuk meghampirinya. Pak Tino namanya.
Selain berperan sebagai penjaga asrama, di mataku, Pak Tino sudah kuanggap sebagai orangtua sekaligus sahabatku di Jogja. Kami selalu tolong menolong. Saat aku kelaparan di akhir bulan, Pak Tino selalu tulus memberiku makan. Begitu pula istrinya. Mbak Eni panggilannya. Saat butuh bantuan tenaga untuk memperbaiki asrama, tanganku selalu ringan untuknya.
Aku duduk di sebuah kursi kayu di samping Pak Tino. Masih di area halaman asrama. Sambil menyalakan sebatang rokok, kami berbicara tentang apa saja. Terkadang soal kerusakan fasilitas asrama, perilaku penghuninya, terkadang pula soal penjual sayur yang akrab dengannya. Sampai pada suatu ketika, aku terpukul oleh apa yang diceritakannya.
"Di, kamu udah denger kabar, belum?"
"Kabar apa, Pak?"
"Si Wulan mau lamaran."
Jantungku tiba-tiba berdebar. Pikiranku melayang kemana-mana. Rasanya, sama sekali tak bisa kupercaya. Namun, sebaliknya, aku berusaha untuk terlihat biasa saja. Aku berpura-pura bahagia.
"Serius, Pak? Sama siapa?"
"Sama Robby."
"Robby asrama?"
"Iya. Robby kecil."
Dulu di asrama memang ada dua mahasiswa yang bernama Robby. Yang satu gemuk, dua tingkat di atasku. Yang satu lagi kurus, satu tingkat di atasku. Nah, yang kurus ini lah yang dimaksud Robby kecil.
"Alhamdulillah," kataku.
"Ya pas lah, Pak, kalau Wulan sama Robby. Ideal. Apalagi, Robby kan pinter dan nggak nakal."
Beberapa tahun yang lalu, kami tinggal bersama di asrama. Bahkan dulunya kami juga satu SMA, sehingga aku cukup mengenalnya.
Saat itu, sekuat mungkin aku berusaha untuk fokus pada apa yang kami bicarakan. Entah, rasanya begitu berat. Dibalik usahaku itu, sejujurnya hatiku hancur lebur. Â Wulan ialah satu-satunya sosok wanita yang luar biasa menyatu dengan hatiku. Rasanya cukup panjang kisah yang telah kami lalui. Sejak kelas sepuluh SMA, hingga semester tujuh di bangku kuliah. Meskipun kandas, tapi tetap begitu dalam membekas.
"Rencananya, kapan lamaran, Pak?"
"Denger-denger sih sekitar akhir bulan ini."
"Oh, baguslah kalau gitu, Pak. Aku ikut seneng dengernya."Â
Sambil tersenyum aku menimpali perkataan Pak Tino. Namun, ia justru menampakkan wajah murung padaku. Aku mengerti mengapa ekspresinya seperti itu. Kami telah lama saling mengenal satu sama lain. Aku tahu, bahwa ia tahu kalau senyumku palsu. Ia mengerti perasaanku.
****
Aku yang sudah lama vakum dengan musikku, tiba-tiba saja ingin menuliskan luka yang membuat pikiranku terganggu ke dalam sebuah lagu. Adalah "Hidup Baru". Sebuah lagu penutup kisah cintaku. Mulai dari penulisan lirik, aransemen musik, rekaman vokal, hingga pembuatan video lirik; semuanya kukerjakan sendiri dalam waktu satu minggu.
Yah, kurang lebih begitulah latar belakang lagu "Hidup Baru". Sampai saat ini, aku sama sekali tak tahu pernah tidaknya lagu itu didengarkan oleh orang yang dituju. Yang aku tahu, lagu itu adalah sebuah pelarian atas segala kegelisahanku.
Yogyakarta, 4 Februari 2019
Berikut video lirik Hidup Baru.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H