"Iya. Robby kecil."
Dulu di asrama memang ada dua mahasiswa yang bernama Robby. Yang satu gemuk, dua tingkat di atasku. Yang satu lagi kurus, satu tingkat di atasku. Nah, yang kurus ini lah yang dimaksud Robby kecil.
"Alhamdulillah," kataku.
"Ya pas lah, Pak, kalau Wulan sama Robby. Ideal. Apalagi, Robby kan pinter dan nggak nakal."
Beberapa tahun yang lalu, kami tinggal bersama di asrama. Bahkan dulunya kami juga satu SMA, sehingga aku cukup mengenalnya.
Saat itu, sekuat mungkin aku berusaha untuk fokus pada apa yang kami bicarakan. Entah, rasanya begitu berat. Dibalik usahaku itu, sejujurnya hatiku hancur lebur. Â Wulan ialah satu-satunya sosok wanita yang luar biasa menyatu dengan hatiku. Rasanya cukup panjang kisah yang telah kami lalui. Sejak kelas sepuluh SMA, hingga semester tujuh di bangku kuliah. Meskipun kandas, tapi tetap begitu dalam membekas.
"Rencananya, kapan lamaran, Pak?"
"Denger-denger sih sekitar akhir bulan ini."
"Oh, baguslah kalau gitu, Pak. Aku ikut seneng dengernya."Â
Sambil tersenyum aku menimpali perkataan Pak Tino. Namun, ia justru menampakkan wajah murung padaku. Aku mengerti mengapa ekspresinya seperti itu. Kami telah lama saling mengenal satu sama lain. Aku tahu, bahwa ia tahu kalau senyumku palsu. Ia mengerti perasaanku.
****