Mohon tunggu...
Ardinal Bandaro Putiah
Ardinal Bandaro Putiah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perenungan orang kampung untuk Negeri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

DUNIA PENDIDIKAN BANGSA

15 April 2015   07:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu sedang dilaksanakan Ujian Nasional (UN) serentak di seluruh tanah air. Biasalah pemberitaan tentang UN ini ramai diliput oleh media massa dengan berbagai persoalannya. Tujuan dari UN kali ini sudah berubah dari yang sebelum sebelumnya. UN tidak lagi seratus persen penentu kelulusan anak, akan tetapi hanya menjadi alat pengukur dan pemetaan kualitas pendidikan secara nasional. Diantara tujuan dibentuknya negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Begitulah yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pendidikan yang ingin di capai adalah sebuah pendidikan yang mampu membangun karakter bangsa. Tentu saja harapan itu akan menjadikan bangsa kita menjadi bangsa yang bermartabat dan dapat berdiri secara berdaulat dan bermartabat.

Kualitas pendidikan sangat menentukan kualitas bangsa itu sendiri. Sejak kita merdeka sampai hari ini kelihatannya tujuan pendidikan itu belumlah lagi sesuai dengan harapan seperti yang dimaksud . Secara kualitas pendidikan yang kita miliki belumlah mampu bersaing dengan dunia pendidikan yang ada di negara tetangga, sebutlah misalnya Malaysia atau Singapura. Produk yang dilahirkan dari dunia pendidikan kita belum mampu melahirkan generasi yang bisa berfikir analisis dan kritis. Nuansa doktrininasi seakan lebih dominan yang menyebabkan hilangnya kemandirian.

Tentu saja hal ini banyak yang tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Semua itu bisa kita buktikan dengan melihat dari satu sisi saja. Lihatlah apa yang diminati oleh bangsa ini dari dunia pertelevisian kita. Tidakkah industri hiburan yang berkembang pesat dan diminati oleh banyak orang adalah tayangan yang tidak bermutu. Rating siaran yang disajikan pada umumnya adalah tontonan yang berbau klenik, gosip murahan dan pertunjukkan pertikaian demi pertikaian. Semua yang disajikan hampir 24 jam tidaklah mencerdaskan anak bangsa. Rating dunia hiburan untuk memperolok olok diri sendiri atau orang lain mendapatkan tempat tersendiri di negeri ini. Dunia hiburan yang disajikan tidaklah menyajikan pendidikan budaya malu. Berita infotaiment yang disajikan hanyalah perselingkuhan, kawin cerai dan pertengkaran. Di media sosialpun kita dapat baca betapa banyak orang yang menanggapi pemberitaan pemberitaan yang sifatnya sangat subjektif yang kadang tidak lagi memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yang sangat sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Daya kritis dan analisis bangsa ini tidaklah terbangun dari dunia pendidikan yang ada.

Kecenderungan yang terjadi hari ini adalah pragmatisme pendidikan yang melahirkan manusia manusia yang tidak lagi memiliki kepekaan terhadap bobroknya realitas kebangsaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang hanya ingin cepat mendapatkan gelar sarjana dan berlomba untuk memperoleh profesi yang bergengsi. Seharusnya dunia pendidikan kita mampu untuk mewujudkan pembangunan karakter bangsa, menjadi tulang punggung dalam membangun masyarakat yang egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak kepada orang orang yang lemah dan tertindas, bernalar kritis, sadar akan hegemoni dunia oleh kapitalisme.

Jika tujuan itu terwujud tentu saja bangsa ini akan menjadi kuat terhadap hantam yang muncul baik dari dalam maupun luar. Dunia pendidikan akan menjadikan produk pendidikan yang dikeluarkannya sebagai generasi yang progresif dengan daya juang yang tinggi, bermental baja yang tidak mudah untuk menghamba kepada berbagai kepentingan yang mematikan sisi sisi kemanusian.

Negara seharusnya saat ini menghentikan kapitalisasi pendidikan. Dunia pendidikan yang sebahagian besar di kelola oleh para pemilik modal telah menjadi lahan basah untuk mendapatkan keuntungan finansial. Dunia pendidikan menjadi pasar yang potensial untuk itu. Komersialisasi dan liberalisasi pendidikan adalah sebagai bentuk paham kapitalisme yang merongrong urat nadi pendidikan tanah air. Komersialisasi telah menjadikan dunia pendidikan menjadi elitis. Sehingga yang dapat menikmati pendidikan yang bermutu hanyalah mereka yang kaya saja tidak untuk anak anak yang miskin.

Kesenjangan kualitas pendidikan antara negeri dan swasta harus di atasi. Negara seharusnya bertanggung jawab untuk itu. Sekolah negeri tidak bisa di pungkiri jauh berbeda kualitas yang dimiliki dengan sekolah sekolah sekolah swasta yang dikelola oleh mereka yang memiliki modal untuk itu. Menikmati pendidikan yang layak adalah hak dari setiap warga negara ini. Negara seharusnya dapat hadir dan dirasakan oleh rakyat yang miskin hadir untuk mereka.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun