“Tujuan pendidikan tinggi pada dasarnya hendak turut memelihara keseimbangan wacana kehidupan sistem kelembagaan masyarakat yang hakekatnya berarah ganda menuju kadar intelektual meningkat dan kedewasaan moral dimana diperlukan pendekatan khusus untuk penyelesaian permasalahannya. Penyelesaian tersebut memerlukan pendekatan kompromistis.” Demikian yang saya dapatkan dan saya sadur langsung dari http://www.dikti.go.id/, sebuah website resmi dari instansi yang mengurusi masalah pendidikan tinggi di Negara kita tercinta Republik Indonesia.
Banyak mahasiswa Indonesia yang lupa akan identitas siapa diri mereka yang sudah tertulis dalam susunan kalimat mujarab yang bernama tri dharma perguruan tinggi. Jika dicermati dari kalimat di paragraph pertama dan dibandingkan dengan keadaan mahasiswa dikampus yang saya tempati sekarang ini, jawabannya adalah sungguh miris! Sempat banyak yang saya pikirkan setelah saya membaca poin poin yang ada pada tri dharma perguruan tinggi, jika ditelusuri lebih lanjut, hanya poin ketiga yang sering saya pikirkan. Mari kita telusuri terlebih dahulu tentang poin poin yang ada di dalam tri dharma perguruan tinggi. Ketiga poin itu adalah akademis, riset & pengembangan, dan yang terakhir adalah pengabdian masyarakat.
Poin pertama pada tri dharma perguruan tinggi yaitu akademis, menurut hemat saya poin pertama ini mau tidak mau akan dirasakan oleh setiap pelajar yang menginjakkan kaki diperguruan tinggi manapun di pelosok negeri ini, dibelahan dunia manapun hingga pelajar tersebut keluar dari universitas yang bersangkutan baik melalui jalur sarjana, diploma, maupun jalur drop uot, hal ini karena setiap mahasiswa akan menghadapi rangkaian kegiatan ujian dalam setiap semester yang dilalui oleh mahasiswa tersebut. Bahkan untuk kampus tercinta yang saya tempati saat ini, seorang mahasiswa wajib hadir minimal sebanyak 75% dari kedatangan dosennya. Sungguh miris, seorang mahasiswa harus didikte dengan peraturan kehadiran layaknya seorang siswa, yang tentunya harus menghilangkan kata maha di depan kata siswa yang disandang oleh pelajar yang belajar di tempatnya. Yang terkadang peraturan ini menghambat mahasiswa interdisipliner, yaitu mahasiswa yang senang dan bahkan berbakat di luar bidang yang sedang ia geluti di dalam kelas.
Terkadang beberapa universitas lupa akan fungsinya, yang mengemban misi sebagai lembaga yang tumbuh dalam sejarah, yang menyatukan pekerjaan pekerjaan mempelajari ilmu yang kreatif dengan mendidik sarjana muda yang karena itu kemudian dapat memperkembangkan ilmu serta pemakaiannya di dalam penghidupan masyarakat (Hatta, 1957). Adapun analogi yang pas untuk perguruan tinggi adalah mercusuar. Mercusuar adalah bangunan tinggi, kukuh, kuat, siap menghadapi gelombang sebesar apa pun. Namun ia menjulang tak sekadar memenuhi rasa estetika, tugas utamanya adalah menebarkan cahaya kepada kapal yang singgah dan lewat (Abdul Hamid,2010). Dan bukan hanya sekedar menerima mahasiswa sebanyak banyaknya, lalu memberikan pembinaan sekedarnya, dan meluluskan mahasiswa secepat cepatnya.
Poin kedua tak jauh berbeda dengan poin pertama. Setiap mahasiswa akan menghadapi serangkaian ritual yang yang bernamaskripsi, atau dengan nama lain di beberapa universitas seperti tugas akhir. Dari bukti itu, tak perlu dipertanyakan lagi apakah setiap mahasiswa akan melaksanakan dua poin pertama dari tri dharma perguruan tinggi.
Pada poin ketiga, tertulis kata kata pengabdian masyarakat. Menurut Koentjaraningrat Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Jika akademis dan riset secara otomatis akan dilakukan oleh setiap mahasiswa di perguruan tinggi manapun, maka perlu dipertanyakan apakah poin ketiga ini akan dilaksanakan juga oleh semua mahasiswa? Mahasiswa seperti apakah yang akan menjalani poin ketiga dari tri dharma perguruan tinggi? Mahasiswa yang berada di lab kah? Mahasiswa yang sering turun ke jalan kah?
-Part 1-
“urgensi misi pendidikan tinggi kedepan adalah memperbaiki tatanan moral masyarakt, pendidikan tinggi harus memandang tatanan moral sebagai bagian dari mata rantai usaha pendidiakn bagsa , pada hakekatnya merupakan proses regenerasi moral yang luhur.” Hal ini masih saya kutip dari http://www.dikti.go.id/ yang merupakan website resmi dari instansi yang mengurusi masalah perguruan tinggi di Indonesia.
Sungguh erat hubungan dari urgensi pendidikan di atas terhadap poin ketiga dari tri dharma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Sungguh sebuah proses panjang yang normalnya empat tahun untuk mendidik seorang mahasiswa tidak aka nada manfaatnya jika poin ketiga ini tidak dilaksanakan oleh seorang mahasiswa.
Di sini saya akan berbagi sedikit pengalaman dengan sedikit berdiskusi dan mencermati dua orang yang memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Orang yang pertama aalah seorang aktivis dari sebuah organisasi di kampus dan orang kedua adalah seorang asisten laboratorium yang memiliki skill mumpuni di bidang engineering.
Berdiskusi masalah pengabdian, aktivis dari organisasi yang nilainya belum lebih dari 3.0 itu mengatakan bahwa pengabdian masyarakat harus lah dimulai sejak dini, misalkan melalui kegiatan bakti sosial, mengikuti kegiatan sosial politik di kampus, dan melakukan aksi di jalan, karena jika menurut orang pertama ini kegiatan lab akan menghambat perjuangan mahasiswa. Sedangkan orang kedua mengatakan bahwa :untuk apa saya turun ke jalan? Membuat macet jalan, memangnya apa yg saya teriakkan didengarkan? Lebih baik saya di lab, menambah skill di bidang engineering, dan setelah lulus barulah saya mengabdi, sudah punya banyak ilmu, sudah kerja, ada uang.” Kurang lebih itu yang saya dapat dari kedua mahasiswa ini.
Dari rekaman obrolan ringan dengan dua orang ini menjadi ganjalan tersendiri bagi saya, yang tentunya menghasilkan penilaian penialaian tersendiri. Bagi saya, jika kedua pendapat tersebut digabungkan dan diambil beberapa sisi dengan sedikit analisis akan menghasilkan hal yang luar biasa. Jika di telisik, pernyataan orang kedua tentang pengabdian mahasiswa sangatlah lucu, dia mengatakan akan mengabdikan dirinya bagi bangsa ketika sudah lulus, lalu apakah status seorang mahasiswa ketika sudah lulus dari perguruan tinggi masih bisa dikatakan sebagai seorang mahasiswa? Itu lah yang menjadi pertanyaan besar. Dan adakah korelasi antara hard skill yang sudah dipelajari dengan urgensi misi pendidikan kedepan seperti yang ada di atas? Memang ada, tapi sangat lah secara tidak langsung. Sedangkan pendapat orang pertama memang agak mengagetkan, dia mengatakan bahwa mahasiswa yang hanya beraktifitas kuliah dan riset di lab adalah mahasiswa yang sedang mendapat hambatan dalam berjuang. Padahal, jika dikembalikkan, apa fungsi orang pertama tersebut menjalani sebuah proses pendidikan di perguruan tinggi khususnya dalam bidang engineering jika tidak menguasai bidangnya dalam engineering? Padahal di dalam poin pertama dan poin kedua tri dharma perguruan tinggi tercantum poin akdemis dan riset.
Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah pengabdian dari seorang Mahasiswa harus lah dilakukan ketika dia benar benar berstatus sebagai mahasiswa, baik melalui kegiatan kegiatan bakti sosial, mengikuti kegiatan sosial politik di kampus, kegiatan lab yang tentunya kemudian di aplikasikan di masyarakat, bahkan melalui aksi di jalan.
Karena pada hakikatnya mahasiswa adalah seorang insane akademis, pencipta dan pengabdi, dan merupakan seorang intelektual yang selalu melakukan perubahan kea rah yang lebih baik. Dimana Intelektual didefinisikan sebagai orang orang yang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima sebagaimana adanya (Coser dalam Abdul Hamid, 2010). Mereka selalu berpikir soal alternative terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat dianggap baik. Mereka selalu mencari kebenaran yang batasnya tidak berujung (Shils dalam Abdul Hamid,2010).
Intelektual selalu bercermin dengan realitas yang ada yang tak sesuai dengan yang seharusnya. Mempunyai sebuah prinsip dan senantiasa berjuang demi dan sesuai dengan prinsip yang ia pegang.
Karena Menjadi Intelektual [itu] seperti ikan di laut lepas. Sepanjang masih bernapas, ia tak ikut menjadi asin seperti air laut. Intelektual, di manapun berada, nilai kebenaran yang dipegang tak ikut luruh. Jika memegang jabatan, tak malah melakukan “abuse of power.”
Oleh karena itu, mari berkarya bagi Bangsa dan Negara, tanpa mengesampingkan fungsi mahasiswa sebagai insan akademis, pencipta, dan pengabdi bagi Bangsa dan Negara. Melalui disiplin ilmu apa pun yang kita kuasai dan dalami, karena dalam sebuah bangunan Negara, tanpa kedalaman pondasi yang sama, tanpa tinggi tiang yang sama, tentu akan menghasilkan Negara yang tidak kokoh.
Wallahua’lam bissawab
-part 2-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H