Saya masih ingat jelas, di sebuah sore, awal tahun lalu. Istri saya baru saja pulang dari sekolah dan mengeluh.
"Aku sekarang ga bisa kasih PR esai lagi. Anak-anak sudah pada pakai AI. Jadi sia-sia juga aku kasih tugas macem-macem. Toh jawabannya bisa dicari pakai Chat GPT."
Di masa lalu, soal esai memiliki bobot yang paling tinggi. Soal macam inilah yang bisa menunjukkan sejauh mana siswa menguasai materi pembelajaran. Dari soal inilah seorang guru bisa menilai ketepatan, kecermatan, dan cara berpikir seseorang. Sekarang, jawaban soal esai ini bisa diperoleh dengan AI. Lalu bagaimana guru bisa menilai kemampuan berpikir siswa?
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia, AI mulai merambah ke ruang kelas, membawa peluang sekaligus tantangan bagi guru dan siswa. Berdasarkan data EdWeek Research Center, di Amerika Serikat, lebih dari 70% guru belum mendapatkan pelatihan tentang AI. Bagaimana dengan Indonesia?
Bulan lalu, Ditjen GTK Kemdikbud bersama Google mengadakan pelatihan Gemini Academy. Pelatihan ini berhasil menjangkau 186 ribu guru di Indonesia. Dengan jumlah guru sekitar 3 juta, berarti baru 6% guru yang mendapatkan pelatihan.
Angka ini sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan jumlah siswa yang menggunakan AI untuk mengerjakan tugas. Bulan Maret 2024, Tirto.id dan Jakpat mengadakan survei yang menunjukkan bahwa sebanyak 86% siswa di Jakarta menggunakan AI untuk tugas mereka. Di Amerika Serikat, survei BestCollege pada tahun 2023 mencatat bahwa 56% mahasiswa sudah menggunakan AI untuk tugas atau ujian.
Angka ini menunjukkan jurang keterampilan digital antara guru dan siswa yang semakin lebar. Guru dituntut untuk lebih responsif terhadap perkembangan teknologi.
Keresahan ini pula yang akhirnya mendorong saya dan istri bereksperimen. Pertanyaannya adalah: bagaimana membuat tugas yang sulit atau hampir mustahil dikerjakan dengan AI?
Sebagai konsultan teknologi pendidikan, saya sering menggunakan AI dalam pekerjaan sehari-hari. Saya menyadari bahwa chatbot AI kurang bisa mengerjakan instruksi yang kompleks tanpa dipecah menjadi perintah sederhana. Dari sini, kami memilih aktivitas storytelling sebagai eksperimen.
Mengajar kimia, terutama senyawa kimia, adalah tantangan tersendiri. Selain kompleksitas materinya, kimia sering sulit dikontekstualisasikan dengan kehidupan sehari-hari. Storytelling menjadi solusi. Dengan mengasosiasikan konsep abstrak ke dalam narasi yang menarik, siswa dapat memahami dan mengingat materi dengan lebih baik.
Storytelling ini dikemas menjadi sebuah pembelajaran berbasis proyek. Yang menarik dari eksperimen ini adalah siswalah yang membuat cerita. Siswa kelas 10 membuat buku cerita untuk dibacakan kepada siswa kelas 2. Proyek ini dirancang tidak hanya untuk mengajarkan materi kimia, tetapi juga melatih keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas.
Proses dimulai dengan pembelajaran "konvensional", yaitu mengenal nama dan karakteristik senyawa kimia. Namun proses ini tidak lama. Siswa kemudian dibagi menjadi kelompok kecil untuk menyusun cerita. Mereka diminta memasukkan senyawa kimia ke dalam plot yang relevan dan menarik.
Siswa menggunakan AI seperti Chat GPT dan Gemini untuk membantu mereka mencari ide cerita. Namun, mereka segera menyadari bahwa hasil AI tidak selalu sesuai dengan kebutuhan mereka. Kalimat yang dihasilkan terlalu rumit untuk siswa kelas 2. Keadaan ini memaksa mereka untuk memparafrase dan menyederhanakan bahasa sesuai audiens.
Untuk ilustrasi, siswa mencoba menggunakan alat AI seperti Canva AI, tetapi seringkali gambar yang dihasilkan tidak konsisten dengan alur cerita dan karakter. Akhirnya, mereka harus melengkapi ilustrasi secara manual untuk memastikan keselarasan dengan alur cerita. Beberapa siswa merasa kesulitan, tetapi kolaborasi kelompok membantu mereka mengatasi tantangan ini.
Setelah cerita dan ilustrasi selesai, siswa mempresentasikan buku mereka kepada siswa kelas 2. Mereka tidak hanya membaca cerita, tetapi juga melibatkan audiens dalam diskusi dan kegiatan sederhana seperti kuis interaktif.
Proyek ini membuktikan bahwa pembelajaran kimia bisa lebih menyenangkan dan bermakna. Dalam proses pembuatan buku cerita, siswa menemukan bagaimana senyawa-senyawa kimia digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa juga belajar menggunakan AI secara bijak. Mereka memahami bahwa AI hanyalah alat bantu yang memerlukan kreativitas manusia untuk menghasilkan karya yang bermakna.
Seorang siswa mengatakan, "Ternyata mereka (siswa kelas 2) paham, Miss. Jadinya saya malah menjelaskan lebih banyak." Guru pendamping kelas 2 pun merasa puas dengan aktivitas ini.
Jika Anda seorang guru, mengapa tidak mencoba storytelling di kelas Anda? Dengan bantuan AI, pembelajaran bisa menjadi lebih inovatif dan menyenangkan. Anda bisa mereplikasi metode ini untuk kelas Anda. Dokumentasi proses pembelajaran ini telah diterbitkan dalam artikel "Chemistry Storytelling with AI: A Descriptive Research of Ebook Creation for Grade 10 Students" di JKTP: Jurnal Kajian Teknologi Pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H