Kala itu menjelang malam bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, seorang guru bernama Raden Said, menggelar pertunjukkan wayang kulit di sebuah lapangan luas, di daerah Tuban, Jawa Tengah.
Terlihat, Raden Said yang mengenakan baju berwarna hitam dengan Blangkon Jawa di kepalanya bersama dengan puluhan santrinya tengah sibuk memindahkan dan meletakkan wayang kulit miliknya ke atas panggung.
"Para santri, tolong Bawa semua alat-alat wayang ini ke atas panggung, tancapkan semuanya diatas batang pisang, secara rapih dan berurutan ya nak."
"Yang lain, Monggo berjaga di setiap sudut lapangan. sambut para penonton yang datang dengan ramah ya nak"
"Nggih Kyai"
Satu persatu warga sudah mulai berdatangan. mereka disambut dengan sapa dan salam hangat dari para santri. Tak seperti bioskop, pertunjukkan ini gratis. warga pun datang tanpa karcis. Berlokasi di lapangan luas, mereka masuk secara tertib, mengisi tempat kosong, memenuhi shaff-shaff depan yang telah disediakan.
"Selamat datang, Bapak juga Ibu"
"Nggih, nak"
"Monggo silahkan duduk , Bapak/Ibu , sebentar lagi Kyai Said naik ke atas panggung, acaranya akan segera dimulai".
Pagelaran dimulai. Raden Said, memulainya dengan terlebih dahulu mengajak warga untuk berdoa bersama dan mempersilahkan warga yang beragama non-muslim untuk ikut berdoa sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
Raden Said memang dikenal pribadi yang sangat bijak dan toleran. Sebagai Dalang di atas panggung, tentu saja dia sangat piawai dan mahir dalam memainkan wayang kulit, Bahkan Para penonton sangat antusias saat menyaksikan pagelaran Wayang Kulit yang tengah berlangsung.
Malam itu, cuaca cukup bersahabat, meskipun masih terdengar bising gemuruh angin berkelebatan Kesana kemari menggoyangkan pohon-pohon disekitar lapangan, ditambah lagi ramainya suara jangkrik dan hewan-hewan malam lainnya, seakan turut serta memeriahkan berjalannya acara pertunjukkan malam itu. Namun, penonton sama sekali tidak terganggu, mereka sudah sejak lama bersahabat dengan alam dan semesta, walhasil, mereka tetap  bisa fokus dan menyaksikan Wayang Kulit dengan seksama.
Sebagai Dalang yang Kyai, Raden Said juga pintar dalam mengolah emosi penonton, lihat saja, sesekali penonton dibuatnya tertawa,
 namun tak jarang dalam alur cerita yang dibangun penonton juga dibuat menangis dan berderai air mata. Sungguh ini pertunjukkan wayang kulit yang luar biasa, lebih dari hanya sekedar hiburan. Isinya menggetarkan nurani dan menggugah kesadaran dalam beragama dan bersosial.
Dalam bermain wayang kulit, Raden Said mampu membangun narasi dan dialog dengan sangat sempurna. Itu pulalah yang diajarkan kepada santri didiknya di langgar tempatnya mengajar. Hingga kini, hampir sebagian besar santri Raden Said dapat bermain wayang. bahkan tak jarang dalam beberapa kesempatan mereka dipercaya menggantikan Raden Said sebagai Dalang saat beliau berhalangan.
Hampir dua kali dalam sebulan setiap malamnya, terutama di bulan Maulid, Raden Said biasa menggelar pertunjukkan Wayang kulit akbar seperti ini, sebagaimana sarana hiburan bagi masyarakat. Pertunjukkan wayang kulit sebenarnya telah lama dikenal dan dimainkan oleh generasi-generasi terdahulu. Karenanya, Wayang Kulit memang sudah sejak lama sangat familiar di tengah masyarakat.
Namun, ada yang menarik dan berbeda dengan gaya dan caranya Raden Said dalam memainkan pertunjukkan wayang kulit. Beliau, sering mengutip Ayat Qur'an, Hadits Rosul dan kalimat hikmah orang-orang Sholih kemudian Menarasikannya dalam bentuk cerita, dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Raden Said juga tidak pernah lupa untuk menyampaikan pentingnya menjaga toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai  kemanusiaan. Salah satunya, Raden Said selalu mengutip pesan dari Sahabat Ali Bin Abi Tholib, "Kita memang tidak bersaudara dalam agama, Suku dan budaya, tapi kita bersaudara dalam kemanusiaan".
 Itulah alasan mengapa penonton sangat menyukai dan mengagumi Dalang Raden Said. Sebagai seorang Kyai dia sosok yang inspiratif, arif dan bijaksana dan sebagai dalang Raden Said dikenal sebagai sosok yang Kreatif.
Tidak seperti pendahulunya. Raden Said merubah banyak sekali karakter tokoh pewayangan, kemudian mengganti dan memasukkan karakter lain yang sesuai dengan nilai nilai luhur ajaran agama Islam sekaligus menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Sederhananya, apa yang terjadi dan sedang dirasakan oleh masyarakat itulah yang dituangkan Raden Said dalam karakter, dan alur cerita wayang kulitnya.
Raden Said, tidak menjadikan Wayang kulit hanya sebatas hiburan. Dia menjadikan Wayang sebagai sarana untuk berdakwah menyebarkan ajaran Islam, sejurus degan titah dan kewajibannya sebagai seorang muslim yang telah termaktub dalam Al-Qur'an.
Walhasil, banyak sekali penonton dari kalangan non-muslim tertarik dengan agama Islam. mereka mengenal Islam agama yang ramah dan penuh dengan kasih sayang. Rupanya Raden said, menjadi teladan bagi mereka, bahwa ternyata cara penyampaian ajaran Islam yang semuanya berupa kebenaran itu, disampaikan oleh Raden Said dengan cara-cara yang baik, santun, dan melalui wayang pula, Raden said menunjukkan bahwa Islam adalah keindahan, seperti Kyai Said selalu berpesan dalam setiap pertunjukkan wayang nya, "Islam agama yang indah dan mencintai setiap keindahan".
Puncaknya, karena ketertarikan itu, banyak dari mereka yang akhirnya masuk agama Islam dan ber-syahadat. Biasanya Raden said langsung yang akan membimbing mereka mengucapkan dua kalimat syahadat di atas panggung setelah pertunjukan selesai dan akan disaksikan langsung oleh ratusan penonton wayang kulit yang hadir memenuhi lapangan pada malam itu.
"Asyhadu An Laa Ilaaha Ila Allah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosusullah". Suara Raden Said membimbing para mualaf, di ikuti mereka dengan penuh keyakinan dan kekhusyu'an. Subhanallah.
Selesai
Ardiansyah Fadli,
Kamis, 2 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H