Beberapa bulan lagi kita akan menyambut pesta demokrasi pemilukada 2017 secara serentak di Indonesia. DKI Jakarta seakan menjadi sentralisasi atau barometer keberhasilan pemilukada nasional dalam mengkonfigurasi kontur kepemimpinan nasional. Pasalnya, sebagian besar masyarakat Ibu Kota DKI Jakarta mayoritas adalah kaum urban atau pendatang dari berbagai daerah seperti jawa, sumatera, Sulawesi dan sebagainya. Bahkan tak jarang masyarakat yang berdomisili di daerah pun turut andil dalam menyuarakan dan memberi dukungan kepada calon yang menurutnya cocok untuk memimpin Ibu Kota DKI Jakarta 2017 mendatang. hal demikian tidak lain dikarenakan intensitas media yang begitu banyak memberitakan para calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Terlepas siapa yang akan terpilih menjadi pemimpin ibu kota di masa mendatang, hal yang paling mendasar perlu diperhatikan adalah sejauh mana tekad besar yang dimiliki oleh para calon gubernur untuk membenahi permasalahan-permasalahan ibu kota. Meminjam perkataan JJ.Rizal yang mengatakan bahwa permasalahan di ibu kota DKI Jakarta, setidaknya ada 3 hal yang harus diselesaikan, Pertama, Banjir Orang, kedua, banjir Air, dan ketiga banjir kendaraan.
Saya sepakat dengan apa yang dikatakan JJ.Rizal. bahwa ketiga hal tersebut menurut saya adalah suatu permasalahan yang nantinya akan saling berkaitan dan kemudian akan berdampak pada banyaknya permasalahan-permasalahan social lainnya. Banjir orang misalnya, disebabkan karena urbanisasi yang tidak terkontrol, menyebabkan terjadi kepadatan penduduk, berkurangnya RTH (Ruang Terbuka Hijau), kemudian terjadi bencana banjir dikarenakan berkurangnya resapan dan penampungan air, tata letak kota yang berantakan, kemacetan dimana-mana dan masih banyak segudang permasalahan lainnya.
Bicara permasalahan di ibu kota layaknya seperti mengeruk air laut dengan gayung tidak akan ada habisnya. Telebih kita tahu bahwa ibu kota DKI Jakarta bukan hanya dijadikan sebagai pusat Pemerintahan, tapi juga menjadi pusat perekonomian, dan terutama pusat para kaum kapital menanamkan investasinya untuk merauk sejumlah keuntungan.
Di tengah pertumbuhan populasi urban yang jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan pembangaunan infrastruktur, seperti sudah saatnya kita bicara tentang peta konsep sebagai sebuah solusi yang tepat untuk menjawab semua permasalahan-permasalahan yang sudah sejak lama mengakar di Ibu Kota.
Belum lama, peta konsep Greater Jakarta sempat ramai dipemberitaan media. Setelah Gagasan konsep ini dibahas dalam pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Rektor ITB, Akhmaloka, Selasa 11 Januari 2010. Hal demikian juga sempat mengundang sejumlah ahli tata kota, pengamat untuk membahas gagasan tersebut.
Dalam perjalannnya konsep Greater Jakarta juga tak jarang banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, khususnya para pengamat, politisi dan pengambil kebijakan. Greater Jakarta sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Sebagaimana yang dikatakan oleh JJ.Rizal, pada acara diskusi Opini.id dengan tema “The Greater Jakarta dan Perkembangan Kawasan Pinggiran”. JJ Rijal menjelaskan bahwa greater Jakarta adalah peta konsep yang telah berlangsung secara turun temurun. Konsep ini di gagas pertama kali oleh walikota Jakarta, Bapak sudiro di zaman pemerintahan presiden soekarno. Walau kerapkali soekarno dan sudiro sering bertengkar mengenai ide dan gagasan. Namun, untuk hal the Greater Jakarta berbeda, sokarno justru menyepakati konsep tersebut. Dan Greater Jakara adalah mimpi Sudiro dan Soekarno untuk Jakarta seribu tahun ke depan.
Bukan tanpa alasan soekarno menyepakati Greater Jakarta, selain, Jakarta mendatang akan menjadi episentrum urbanisasi, sehingga diperlukan perluasan wilayah. Sedang, wajah ibu kota dalam konsep atau gambaran soekarno sebenarnya bukan hanya Jakarta, melainkan kota-kota lainnya juga nantinya dapat merepresentasikan wajah ibu kota. Wajar jika di zaman bung karno dan setelahnya viraldan berkembang isu-isu bahwa ibu kota akan dipindahkan seperti ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah dan sebagainya.
Secara definitif, seperti yang saya kutip dari Viva.co.id, The greater Jakarta secara sederhana dapat diartikan sebagai pengembangan ibu kota yang terkoneksi dengan kota-kota di sekitarnya. Artinya, Jakarta harus menyatu dengan kota-kota lain seperti Puwakarta, Cianjur, Sukabumi dan beberapa kota lain di sekitarnya. Untuk itu harus dibangun fasilitas seperti jalan raya, dan jalur tranportasi yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota tersebut.
Singkatnya bahwa substansi dari Greater Jakarta hampir mirip dengan program pengembangan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Jadi, Greater Jakarta bukanlah sebagai konsep pencaplokan wilayah oleh Jakarta, melainkan sebuah upaya koordinasi penataan wilayah. So, dalam kesempatan Kopdar Opini.id, JJ Rizal menjelaskan “Jumlah penduduk Jakarta pada malam hari itu sekitar 9,6 juta jiwa, pada siang hari meningkat hingga 15 juta”. Dengan demikian saya sangat setuju jika beban Jakarta dibagi atau ditanggung bersama dengan wilayah penyangga lainnya.
Dimas Oky Nugroho, yang juga pengamat politik dan faounder Gerakan Ampuh turut menemani perbincangan di Kopdar Opini.id, saya pribadi tertarik dengan penjelasannya ketika membandingkan kehidupan Jakarta dengan kota lainnya di berbagai Negara, seperti pemaparannya mengenai kota Canberra dan Washington DC yang menjadi pusat atau kawasan politik, sehingga tak heran jika berkunjung kesana kita akan melihat wajah-wajah yang secara sosial orang-orangnya cenderung serius, berpkaian rapih, mengenakan jas. Dengan kawasan yang seperti ini, berjalannya politik, sosial eknonomi akan sangat efektif. Karena secara teritori kawasan politik dipisahkan dengan kawasan ekonomi, sosial sehingga sedikit kemungkinan akan terpangurh intervensi.
Sekali lagi, Jakarta tidak bisa terus menerus seperti ini, kemacetan lalu lintas, banjir, kepadatan penduduk nampaknya tidak bisa diselesaikan hanya oleh Jakarta. Malaysia sudah sejak 2010 melakukan Greater/perluasan wilayah dan penataan kota yang termasuk program transformasi ekonomi Malaysia. Dan terbukti programnya berjalan dengan baik.
Untuk membangun Jakarta yang Manusiawi dibutuhkan kebijaksanaan pemerintah dalam mengambil keputusan. Pemerintah harus dapat mengakomodir si miskin dan si kaya yang hidup di ibu kota. Penggusuran yang terjadi hari ini saya kira bukanlah solusi yang solutif, melainkan solusi yang justru memiliki mudhorot yang besar daripada manfaatnya. Membangun pulau atau program reklamasi, buat saya juga masih tidak masuk akal di terapkan di Negara kepulauan. Dengan sederhana saya mengatakannya “negeri kepulauan kok bikin pulau”.
Acara Kopdar Opini.id bersama JJ.Rizal (Sejarawan dan Penulis), Dimas Oky Nugroho (Gerakan Ampuh), dan Fajar Arif Budiman (Gerakan Ampuh) di Gedung Wisma77 lantai 8 Slipi, Jakarta Barat, menambah wawasan dan khazanah keilmuan tentang solusi yang tepat untuk setiap Masalah Ibu Kota. dan saya sepakat dengan para pembicara bahwa hanya ada dua solusi untuk Ibu Kota Jakarta yaitu Terapkan Greater Jakarta atau Pindahkan Ibu Kota ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H