Malam itu hujan turun deras, membasahi setiap sudut kota yang biasanya sibuk oleh lalu-lalang orang yang tak pernah berhenti. Namun kini, jalanan tampak lengang, hanya sesekali ada mobil yang melaju, meninggalkan jejak air di jalanan basah. Di sebuah gang sempit yang diterangi remang cahaya lampu jalan, seorang lelaki tua duduk di sudut bangunan tua. Wajahnya keriput, tubuhnya kurus, dibalut jaket lusuh yang tak cukup menghangatkan. Di tangannya, tergenggam sebuah buku usang yang hampir penuh dengan tulisan-tulisan tangan. Dia adalah Arman, seorang penyair yang dahulu dielu-elukan, namun kini hidup di jalanan, terlupakan oleh dunia.
Dulu, Arman dikenal sebagai penyair besar. Karyanya dibacakan di berbagai panggung, puisinya tertulis dalam buku-buku yang menghiasi toko-toko. Arman adalah bintang di dunia sastra, seorang lelaki dengan kata-kata yang mampu menyihir siapa saja yang mendengarnya. Namun, seperti banyak seniman lainnya, ketenaran itu tidak abadi. Seiring berjalannya waktu, nama Arman perlahan memudar. Buku-bukunya tak lagi dicetak ulang, panggilan untuk tampil di acara-acara sastra semakin jarang datang, hingga akhirnya ia benar-benar hilang dari ingatan publik.
Arman tetap menulis, meski tak ada lagi yang membaca karyanya. Menulis adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup. Ia percaya bahwa kata-kata adalah kekuatan terbesar yang dimilikinya, dan selama ia masih bisa menulis, ia masih memiliki arti. Namun, dunia yang dulu mengelukan puisi-puisinya kini berubah. Orang-orang lebih tertarik pada hal-hal instan, dan karya-karya seni yang dalam tak lagi mendapat tempat.
Kesepian mulai merayapi hidup Arman. Istrinya, yang dulu selalu mendukung setiap langkahnya, telah tiada. Keluarganya tak lagi peduli pada sosok tua yang mereka anggap hanya hidup dalam bayangan masa lalu. Tanpa rumah, tanpa uang, dan tanpa dukungan, Arman akhirnya tersingkir ke jalanan. Di sana, ia hidup seperti bayang-bayang, menyusuri kota, mencari tempat untuk berteduh dari dinginnya malam. Hanya buku catatan dan pena yang menemaninya, menjadi sahabat setia di sisa-sisa hidupnya.
Di setiap sudut kota yang ia singgahi, Arman terus menulis. Setiap kata yang ia tuliskan lahir dari rasa sakit, kesendirian, namun juga kerinduan akan masa lalu yang indah. Terkadang, di tengah malam yang sunyi, ia membaca kembali tulisannya, mengingat masa-masa di mana orang-orang mendengarkan dengan antusias. Tapi kini, tak ada lagi tepuk tangan atau pujian. Hanya ada gemerisik hujan dan suara angin yang mengalir di antara celah-celah bangunan kota.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Arman kembali terjebak dalam pikirannya sendiri. Langit yang kelam dan udara dingin membuat tubuh tuanya bergetar, tapi bukan itu yang membuat hatinya terasa kosong. Yang menyakitkan adalah kesadaran bahwa tak ada yang lagi peduli. Kata-kata yang pernah ia anggap sebagai senjata, kini terasa seperti bisikan yang hilang ditelan keramaian. Di trotoar basah itu, Arman merenung, bertanya-tanya apakah hidupnya memiliki arti lebih dari sekadar bait-bait puisi yang tertulis dalam buku usangnya.
Namun, di tengah kesunyian itu, datanglah seorang pemuda. Berjaket tebal dengan tudung kepala menutupi wajahnya, pemuda itu berjalan melewati trotoar sempit di mana Arman duduk bersandar. Langkah pemuda itu melambat ketika melihat sosok lelaki tua yang memeluk erat buku lusuh di pangkuannya.
"Pak, apa yang Anda tulis?" tanya pemuda itu dengan suara lirih, nyaris tak terdengar di tengah derasnya hujan.
Arman mendongak perlahan, memandang pemuda itu dengan mata yang sayu namun penuh rasa penasaran. Ia tak menyangka ada yang peduli untuk bertanya tentang apa yang ia tulis. Dengan tangan gemetar, Arman membuka buku usangnya dan menyerahkannya kepada pemuda itu.
"Puisi," jawab Arman singkat, dengan suara parau. "Aku menulis tentang hidup... dan mati."
Pemuda itu menerima buku tersebut dan mulai membaca beberapa bait puisi yang tertulis di sana. Setiap kata yang tertuang di halaman itu membawa pemuda tersebut masuk ke dalam dunia Arman---dunia yang dipenuhi dengan rasa kehilangan, kerinduan, dan keputusasaan, namun juga secercah harapan yang tak pernah benar-benar padam.