Senja selalu mengingatkanku pada senyumnya. Bayangan itu terus terpatri di ingatan, seolah menolak pergi, seiring detik yang berlari kian jauh. Setiap kali matahari mulai turun, angin sore berhembus lembut, dan langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan, aku selalu teringat anakku, Hana.
Hana, gadis kecil dengan tawa riang yang menghangatkan dunia kecilku, kini entah berada di mana. Rasanya baru kemarin aku menggenggam tangan mungilnya, mendengarkan celotehannya tentang kucing tetangga atau bunga-bunga di taman. Namun, waktu yang berlalu begitu cepat dan kejadian yang menyesakkan itu terjadi. Ia hilang. Menghilang seperti butiran pasir yang terbawa angin, meninggalkan kekosongan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Setiap hari, aku menunggu kabar. Berharap ada satu telepon atau surat yang mengabarkan bahwa Hana telah ditemukan. Sudah berbulan-bulan sejak ia hilang, tapi pencarian tak pernah berhenti. Polisi, relawan, bahkan orang-orang yang tidak kukenal ikut membantu, tapi hasilnya tetap nihil.
"Maafkan aku, Hana..." bisikku dalam hati sambil memandang foto lamanya. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Saat itu, aku hanya pergi sebentar ke dapur, meninggalkannya di taman bermain di depan rumah. Hanya beberapa menit, dan ketika aku kembali, Hana tidak lagi ada di sana.
Ketika kabar hilangnya Hana menyebar, tetangga datang, menyatakan simpati dan menawarkan bantuan. Mereka berbicara dengan kata-kata yang seharusnya menenangkan, tapi justru terasa hampa. Mereka tidak tahu betapa menyakitkannya melihat tempat tidurnya kosong setiap malam, betapa perihnya memandang mainan-mainan yang masih berantakan di ruang tamu.
Suamiku, Andi, lebih tegar. Ia tidak menunjukkan air mata di depanku, meskipun aku tahu hatinya hancur sama seperti hatiku. Andi selalu berkata, "Kita akan menemukannya, tenang saja." Tetapi di matanya, aku bisa melihat kesedihan yang mendalam. Aku tahu ia juga menyalahkan dirinya sendiri, meski ia tidak pernah mengatakannya.
Setiap malam, kami berdua sering duduk di tepi ranjang Hana, menggenggam selimut kesayangannya. Kami bercerita seolah Hana masih di sini, di samping kami, tertawa dan bermain. Kadang, ketika malam terlalu sunyi, aku bisa merasakan kehadirannya di rumah ini. Mungkin itu hanya halusinasi, tapi kehadiran itu memberiku sedikit penghiburan.
---
Beberapa minggu setelah hilangnya Hana, seorang detektif datang ke rumah. Namanya Pak Aryo, pria tua dengan rambut mulai memutih, tapi matanya tajam dan penuh pengalaman. Ia berjanji akan melakukan yang terbaik untuk menemukan Hana. Sejak saat itu, ia sering datang untuk memberikan perkembangan, tapi seringkali kabar itu hanya membawaku pada kebuntuan.
"Tidak ada jejak baru, Bu," katanya suatu sore. "Tapi kami tidak akan menyerah. Saya janji, kami akan menemukan Hana."
Namun, waktu terus berjalan, dan harapan yang tadinya besar mulai mengecil. Aku mulai terbiasa dengan sunyi. Aku mulai terbiasa menatap pintu depan tanpa berharap ada Hana yang berlari masuk, memelukku sambil menceritakan hari-harinya di sekolah.