Langit senja di kota ini berwarna kelabu, seperti dicemari oleh lelahnya hari-hari yang tak berujung. Asap kendaraan melayang-layang, seperti arak-arakan abu yang tiada henti, menutup matahari dengan lapisan tebal. Gedung-gedung tinggi berdiri tanpa ekspresi, menjulang dingin di antara kepulan asap, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di bawahnya. Trotoar penuh dengan manusia yang tergesa, melangkah tanpa arah pasti, terperangkap dalam ritme mekanis yang seolah tanpa henti.
Aku, seperti mereka, bagian dari kota ini. Namun, hari itu ada sesuatu yang mendesak dalam pikiranku, seperti desakan dari dalam hati untuk menjauh. Polusi semakin parah, ruang hijau semakin hilang, dan di antara semua ini, aku kehilangan rasa damai. Suara bising kota terus menggema, tak pernah ada jeda. Di tengah kebisingan itu, muncul satu pikiran yang terus menghantuiku: gunung.
Gunung Lawu. Bukan pertama kali aku mendengarnya, bukan pula yang pertama kali mendakinya. Namun, kali ini, tujuanku bukanlah puncak. Aku tak lagi mendaki untuk sekadar menaklukkan ketinggian. Kali ini, perjalanan ini lebih tentang menenangkan pikiran. Sebuah pengingat bahwa ada tempat di dunia ini yang masih bisa memberi ketenangan. Tempat di mana suara alam menggantikan bisingnya kendaraan, di mana daun-daun bergesekan pelan dihembus angin, dan air sungai mengalir dalam nada lembut yang menenangkan.
Pagi buta, tanpa banyak basa-basi, aku memutuskan untuk berangkat. Sebuah ransel kecil berisi perlengkapan seadanya di punggung, dan hati yang siap menerima ketenangan dari alam. Jalur Cemoro Sewu menjadi pilihanku kali ini. Jalur itu terkenal akan tanjakannya yang curam, namun itulah tantangan yang kucari. Aku butuh tantangan, sesuatu yang bisa membuatku melupakan semua kekacauan yang kutinggalkan di belakang.
Saat tiba di kaki Gunung Lawu, udara segar langsung menyambutku. Kontras dengan udara kota yang sarat dengan debu dan polusi. Aku berdiri sejenak, memandangi langit yang mulai terang oleh mentari pagi. Kabut tipis melayang di sekitar hutan, memberi kesan misterius namun tenang. Gunung Lawu berdiri kokoh di hadapanku, seperti raksasa tua yang penuh cerita dan rahasia, menantang siapapun yang berani mendekat.
Langkah pertama kutapakkan dengan mantap. Udara dingin menyentuh kulit, tapi hatiku hangat. Hutan pinus di awal jalur memberikan kesan megah, batang-batangnya menjulang tinggi seperti pilar alami yang menopang langit. Daun-daunnya yang hijau tua bergesekan pelan saat angin berembus, memberikan nada yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Di sini, di hutan ini, dunia terasa lebih sederhana.
Di kilometer pertama, aku bertemu dengan jalur bebatuan yang tertata rapi. Jalur ini dibuat dengan susah payah, memudahkan pendaki untuk menapak meskipun tanjakannya semakin curam. Di setiap tikungan, pohon-pohon tua dengan akar-akarnya yang menjalar memberikan tantangan tersendiri. Setiap langkah terasa seperti bagian dari sebuah ritus purba, menghubungkan manusia dengan bumi yang dipijaknya. Terkadang, seekor burung hutan terbang melintas, seolah mengamati para pendaki yang lewat, mengingatkan bahwa di sini, manusia hanyalah tamu.
Saat langkahku semakin dalam memasuki hutan, udara semakin dingin, dan suara-suara kota semakin pudar, digantikan oleh harmoni alam yang menenangkan. Sesekali, aku berhenti, mengambil napas dalam-dalam, membiarkan udara bersih memenuhi paru-paruku. Perjalanan ini seolah menjadi perjalanan penyucian, membersihkan jiwa yang penuh dengan debu polusi dan kebisingan kota.
Setelah beberapa jam berjalan, aku tiba di Pos 1. Pos ini adalah sebuah tempat peristirahatan kecil dengan sebuah gubuk sederhana. Tak ada yang spesial dari tempat ini selain kenyataannya bahwa ia adalah titik pertama di mana pendaki bisa merasakan sedikit kemenangan. Aku duduk di sebuah batu besar, membiarkan ranselku terlepas dari punggung. Dari sini, pemandangan hutan terbuka sedikit lebih lebar. Langit biru mulai terlihat, meski beberapa awan tipis masih melayang di atas.
Namun, aku tidak berlama-lama. Perjalanan ini masih panjang. Jalur berikutnya semakin menantang. Aku tahu dari pengalaman sebelumnya bahwa jalur menuju Pos 2 akan lebih berat, dengan tanjakan yang lebih curam dan bebatuan yang semakin banyak. Benar saja, tak lama setelah meninggalkan Pos 1, aku mulai merasakan beratnya tanjakan. Jalan setapak berubah menjadi bebatuan yang besar, dan langkah kaki harus lebih hati-hati. Napasku mulai memburu, tapi di situlah letak kebahagiaannya. Setiap kali aku berhasil menaklukkan satu tanjakan, rasanya seperti menaklukkan sebuah tantangan kecil dalam hidup.
Setelah berjuang melewati bebatuan yang kasar, aku sampai di sebuah punggungan. Dari sini, pandangan terbuka lebar. Di kejauhan, awan menggantung rendah di atas puncak-puncak gunung yang lain. Cahaya matahari mulai terasa lebih hangat, tapi angin yang berhembus membuat udara tetap sejuk. Aku berhenti sejenak, memandang pemandangan di bawah sana. Kota-kota yang tadi kutinggalkan sudah tampak sangat jauh, begitu kecil dan tak berarti. Di sini, di ketinggian ini, semua masalah kota terasa lenyap, hilang tertiup angin.
Setelah melewati Pos 2, jalur mulai memasuki kawasan yang lebih terbuka. Pohon-pohon besar mulai berkurang, digantikan oleh semak-semak rendah dan rumput ilalang yang melambai tertiup angin. Suara alam semakin jelas, dan aku semakin tenggelam dalam ketenangan ini. Tak ada suara manusia lain, hanya aku dan alam yang berbicara dalam kesunyian.
Beberapa jam kemudian, aku tiba di Puncak Hargo Dalem, salah satu dari tiga puncak di Gunung Lawu. Di sini, sebuah bangunan kecil berdiri, tempat orang-orang biasa bermeditasi atau bersembahyang. Aku duduk di salah satu sisi batu besar, memandang ke arah langit yang mulai dipenuhi awan. Puncak Hargo Dumilah, tujuan akhirku, masih berada di kejauhan. Namun, aku tidak terburu-buru. Perjalanan ini bukan tentang cepat atau lambat. Ini tentang bagaimana menikmati setiap langkah, setiap nafas, setiap detik yang terasa lebih lambat daripada biasanya.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang, aku tiba di Puncak Hargo Dumilah. Angin berhembus kencang, membawa aroma khas dari rerumputan dan kabut yang mulai menipis. Dari puncak ini, dunia di bawah sana terasa begitu jauh, begitu tak relevan. Di sini, di atas Gunung Lawu, aku menemukan ketenangan yang kucari.
Aku duduk di atas batu besar, membiarkan tubuhku rileks setelah perjalanan panjang. Matahari mulai meredup di ufuk barat, memberikan semburat jingga di langit. Di kejauhan, awan-awan menggumpal, seperti lautan putih yang tak berujung. Tidak ada suara, hanya desau angin dan gemerisik rumput. Saat itulah aku menyadari, bahwa dalam kesunyian inilah, aku benar-benar menemukan diriku sendiri.
Perjalanan ini bukan sekadar pelarian dari polusi dan hiruk pikuk kota. Ini adalah perjalanan untuk kembali. Kembali kepada alam, dan lebih dari itu, kembali kepada ketenangan yang selama ini hilang. Gunung selalu mengajarkan bahwa kesederhanaan adalah sumber kedamaian yang sesungguhnya. Dan di puncak Hargo Dumilah itu, aku merasa lebih dekat dengan damai daripada yang pernah kurasakan sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H