Di taman hati yang rimbun, cinta mekar bersemi,
Menebar harum pesona, bagai melati di pagi hari.
Namun, awan mendung datang, Mengguncang singgasana nyaman tempatnya berada,Â
Seketika cinta terdiam, lumpuh tak berdaya di dalam kelam.
Otak yang logis berkata, "Cinta hanyalah ilusi semata,"
Hanya reaksi kimia, impuls saraf yang tak terduga.
Hati yang terluka menjerit, "Bagaimana mungkin kau berkata begitu?"
Cinta adalah rasa, anugerah terindah yang tak ternilai harganya.
Bagai dua kutub yang berlawanan, Memilih untuk memihak fakta atau emosi belaka
Membuat jiwa terombang-ambing, di lautan keraguan.
Mungkinkah cinta dan sains bersatu, dalam harmoni yang abadi?
Ataukah selamanya mereka akan terbelah, dalam dua dunia yang berbeda?
Logika dan rasa saling tarik menarik, bagai tari-tarian yang memusingkan,
Mencari titik temu, di antara dua realitas yang berbenturan.
Hati yang terluka bertanya, "Apakah cinta masih memiliki makna?"
Di tengah gempuran dalil kuat untuk memihaknya, yang merenggut semua rasa cinta.
Di taman hati yang sunyi, cinta terbaring terluka,
Menunggu jawaban, di antara dua dunia yang berbeda.
Akankah cinta bangkit kembali, ataukah selamanya terkubur dalam luka?
Hanya waktu yang dapat menjawab, di akhir cerita yang pilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H