Pertemuan itu membuka kembali luka lama, dan membangkitkan pertanyaan yang terpendam: Apakah aku telah membuat pilihan yang tepat? Apakah aku masih mencintai Arya?
***
Jantungku berdegup kencang saat melihat Arya di seminar ilmiah itu. Dia telah berubah, jauh dari sosok pemuda yang penuh semangat dan ambisius yang dulu aku kenal. Wajahnya dihiasi kerutan halus, dan matanya yang dulu berbinar penuh gairah kini redup, terbebani oleh beban kesedihan.
Setelah seminar, aku memberanikan diri untuk mendekati Arya. Kami berbincang selama berjam-jam, mengenang masa lalu dan berbagi cerita tentang kehidupan kami.
Arya menceritakan tentang kesuksesannya sebagai ilmuwan, tentang penemuannya yang revolusioner yang telah mengubah pemahaman manusia tentang alam semesta. Namun, di balik kesuksesannya, aku merasakan kehampaan dalam hatinya.
"Aku telah mencapai semua yang aku inginkan," Arya berkata dengan suara lirih. "Tapi, aku tak bahagia."
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Aku merasakan kesedihan Arya, dan aku tahu bahwa aku adalah salah satu penyebabnya.
"Aku minta maaf," aku berkata dengan suara gemetar. "Aku telah meninggalkanmu saat kau membutuhkan aku."
Arya menggelengkan kepalanya. "Itu bukan salahmu. Aku telah memilih penelitianku daripada cintamu. Dan sekarang, aku harus menanggung konsekuensinya."
Kami berpisah malam itu dengan perasaan yang campur aduk. Aku merasa sedih dan menyesal, namun aku juga merasakan kelegaan. Aku telah bertemu kembali dengan Arya, dan aku tahu bahwa aku telah membuat pilihan yang tepat dengan meninggalkannya.
***