Di persimpangan jalan, di bawah kelamnya jubah malam,
Aku termenung, terpaku dalam bisu yang kelam.
Mempertanyakan arti, di balik nafas yang tersingkap bagai embun pagi,
Mengapa aku hidup? Di dunia yang penuh duka nan kelam bagai malam tanpa rembulan.
Apakah aku hanya debu yang tertiup angin badai,
Berputar tanpa arah, tanpa tujuan yang pasti bagai biduk tanpa nahkoda?
Ataukah aku api yang berkobar di dalam jiwa yang sunyi,
Membawa semangat, menerangi dunia yang fana bagai lilin di tengah badai?
Aku hidup, untuk merasakan hangatnya mentari pagi,
Menyapa bumi dengan kehangatan yang abadi bagai kasih ibu yang tak terganti.
Aku hidup, untuk menari di bawah derasnya hujan,
Menikmati kesegaran, diiringi tawa yang riang bagai gemericik air di taman sari.
Aku hidup, untuk memeluk erat orang tua yang tercinta,
Merasakan kasih sayang, yang tak terhingga nilainya bagai mutiara di lautan.
Aku hidup, untuk menggapai mimpi dan cita-cita yang bagai bintang di angkasa,
Meninggalkan jejak, di kanvas kehidupan yang fana bagai lukisan di atas kain sutra.
Mungkin aku takkan pernah tahu, jawaban pasti bagai teka-teki yang tak terpecahkan,
Mengapa aku hidup, di dunia yang penuh misteri bagai hutan belantara yang tak terjamah.
Namun aku yakin, setiap detik berharga bagai emas yang berkilauan,
Untuk dijalani dengan penuh cinta dan makna bagai tarian indah kehidupan yang tak terlupakan.
Februari, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H