Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Audio Book: Tips dan Perdebatan

11 April 2022   21:19 Diperbarui: 11 April 2022   21:22 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aplikasi eReader Prestigo

2 tahun belakangan saya aktif menjanjal buku audio. Awalnya, buku audio saya dengarkan hanya sebagai alternatif ketika waktu baca berdekatan dengan jelang tidur. Biasanya walau kantuk belum datang, mata terlalu lelah untuk dipaksa membaca, apalagi sulit cari posisi enak dengan kondisi pencahayan kamar yang kurang oke.

Di situasi macam ini, buku audio begitu membantu. Bukan saja menghemat kerja mata, malah acap kali suara penutur bisa bikin tertidur. Ini tentu jadi semacam bonus bagi saya yang punya masalah kesulitan lelap.

Eh, tak dinyana, makin kemari, porsi konsumsi buku audio saya makin menjadi-jadi, bahkan lebih mendominasi dibanding buku cetak atau e-book yang tersimpan di gawai.

Ada beberapa alasan kenapa jadi begitu. Sebagai penikmat buku, saya acap membaca buku di banyak kesempatan. Misalnya ketika dipaksa menunggu, sedang dalam perjalanan, saat bosan, bahkan ketika buang air, saya sering perlu membaca. Namun belakangan timbul rasa kurang nyaman membaca buku, terutama di depan umum. Selain buku fisik kadang menambah beban bawaan, saya punya prasangka yang aneh (yang bisa saja dialami sebagian orang). Saya punya prasangka kalau kebiasaan membaca buku di ruang publik adalah hal langka sehingga terasa terlalu mencolok dan bisa saja aktivitas ini jadi pusat perhatian (dan entah mungkin cibiran).

Sebagai orang introvert, prasangka "jadi pusat perhatian" ini membuat saya tidak lagi pernah nyaman membaca buku di keramaian. E-book sebagai alternatif sesakali bisa jadi solusi, tapi lagi-lagi ini pun ada kelemahannya. Atas nama alasan kesehatan, baca e-book bikin mata jadi mudah lelah dan gampang memicu nyeri kalau memelototi layar ponsel berlama-lama.

Nah, audio book mengatasi segala kendala pribadi ini. Kebiasaan saya menjadikan membaca sebagai "aktivitas privat" benar-benar didukung lewat varian buku yang tak dibaca, tapi didengar.

Tips Menikmati Audio Book

Lewat artikel ini, saya ingin membagi pengalaman tahunan menjadi pemakai audio book. Demi pengalaman mendengar audio book yang nikmat, yang pertama perlu diperhatikan tentu perangkat. Untuk dapat mendengar lebih baik, ada bagusnya menggunakan headset. Suara lebih terisolasi dan jelas. Tak sekadar headset, akan lebih baik kalau memakai perangkat yang desainnya mendukung aktivitas mendengar buku, terutama bagi Anda yang menjadikan membaca sebagai kebiasaan sebelum tidur. Karena bisa jadi, seperti halnya saya, proses mendengar buku berakhir bablas sampai pulas.

Sekarang di pasaran ada beberapa jenis headset yang didesain sedemikian rupa sehingga nyaman dipakai dalam berbagai posisi baring. Contohnya yang saya pakai sekarang, headset dengan desain tipis yang tidak menimbulkan rasa tak nyaman ketika tertindih. Jenis ini pun lebih memfokuskan fitur vokal yang jernih, bukan bass, treble atau semacamnya.

Headset yang didesain untuk dipakai dalam posisi tidur
Headset yang didesain untuk dipakai dalam posisi tidur

Lalu untuk mendengar audio book, ada berbagai pilihan aplikasi audio book yang berserakan di Playstore. Setelah mencoba sekian macam, pilihan terbaik yang saya dapati adalah aplikasi eReader Prestigo. Aplikasi ini bisa membacakan buku menggunakan berbagai pilihan voice over, termasuk bahasa Indonesia.

Aplikasi eReader Prestigo
Aplikasi eReader Prestigo

Tapi kalau Anda tak suka dengan format suara artifisial, aplikasi penyedia audio book bisa dijadikan solusi. Misalnya saja saat ini saya berlangganan aplikasi Storytel. Di sini, ada banyak sekali macam buku yang dibacakan oleh penutur profesional. Bahkan entah kenapa beberapa di antara penuturnya terdengar familiar, mungkin sebagian di antara mereka pernah menjadi dubber di sinema atau seri kartun. Oh iya, untuk langganan satu bulan, maharnya sekitar 30 ribuan.

Tangkapan layar aplikasi Storytel
Tangkapan layar aplikasi Storytel

Mendebat Audi Book

Sejak kelahiran pertamanya dibidani mesin cetak Guttenberg hampir 600 tahun lalu, buku sebagai sumber referensi paling populer, sudah mengalami banyak perubahan dinamis. Campur tangan bisnis membuat buku jadi produk yang terpapar berbagai macam inovasi, apalagi di tengah dominasi arus digital saat ini. Mau tak mau, buku harus pandai-pandai jual diri kalau tak ingin pelan-pelan berakhir sebagai artefak sejarah.

Bermula dari sekadar lembar kertas yang dijilid, buku kini sudah berevolusi ke dalam bentuk elektronik lewat format electronic book (e-book) dan audio book. Sejak awal mula munculnya varian buku digital ini, berbagai perdebatan cukup sengit bermunculan. Pro-kontra bermuara pada pertanyaan utama: apakah membaca buku di layar gawai, apalagi "cuma" mendengarkannya dalam format audio, sama marwahnya dengan mengkaji buku fisik yang bisa disentuh lembar per lembarnya?

Khusus untuk audio book, ada artikel menarik yang dirilis oleh time.com yang dijuduli: Are Audiobooks As Good For You As Reading? Here's What Experts Say.

Di salah satu bagian artikel itu, disebutkan kalau profesor dari Bloomsburg University of Pennsylvania bernama Beth Rogowsky, pernah melakukan semacam eksperimen perihal audiobook tahun 2016.

Eksperimennya begini, Rogowsky membagi dua kelompok yang akan membaca buku berjudul Unbroken, sebuah kisah nonfiksi tentang Perang Dunia II. Kelompok pertama dan kedua membaca bagian yang sama, namun dengan format yang berbeda. Yang satu mendengar audio book, yang lainnya membaca buku elektronik di e-reader. Setelah itu, setiap orang mengikuti kuis yang dirancang untuk mengukur seberapa baik mereka menyerap materi.

Hasil tesnya? Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam pemahaman antara membaca dan mendengarkan.

Akan tetapi eksperimen ini didebat karena pembanding yang digunakan adalah audio book dan e-book, tanpa mengikutkan sang sesepuh, yaitu print book atau buku cetak.

Masih kata artikel itu, seorang profesor di bidang psikologi dari University of Virginia, Daniel Willingham, menyebut kalau buku cetak punya keunggulan mutlak yang tak dipunyai oleh dua turunannya. Keunggulan yang disebutkan oleh Profesor Willingham itu saya maknai sebagai "kesadaran posisi". Maksudnya, saat kita membaca buku fisik, kita bisa mengetahui dengan jelas sudah sejauh apa perjalanan narasi kita lewat perbandingan tebal buku yang sudah dibaca dan yang tersisa. Kesadaran posisi ini memberi pengalaman khas yang membantu kita menciptakan gambaran narasi dan tiap sequence dalam sebuah buku. Pada akhirnya, ini membantu pembaca mengingat lebih banyak.

Sensasi yang sama coba direplikasi oleh e-book lewat pencatuman jumlah halaman secara digital atau durasi baca pada audio book. Akan tetapi, itu tentu tak sebaik pengaruh kesadaran posisi yang dibangun oleh buku cetak di benak kita.

Selain itu (dan ini saya juga rasakan) fokus saat mendengar audio book juga lebih mudah teralih dibanding membaca buku fisik. Jika di buku tradisional kita bisa mengulang kembali bagian yang terlewat dengan membolak-balik halaman, namun akan terasa lebih ganjil dan sedikit merepotkan jika hal yang sama kita lakukan pada audio book. Karena tentu saja sulit mengamit detik, menit atau jam bagian yang kita ingin baca ulang, walau hal ini sedikit teratasi dengan fitur bookmark.

Namun hal yang menarik ada bagian kesimpulan artikel. Jika Anda mendengarkan audio book untuk bersantai---bukan untuk bekerja atau belajar---perbedaan manfaat antara buku audio dan buku cetak mungkin tak begitu jomplang.

Semua perdebatan itu saya kembalikan dalam satu pertanyaan: bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun