Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hidup Ini Sialan dan Itu Tak Mengapa: Resensi Buku The Subtle Art of Not Giving A F*ck

4 April 2022   12:03 Diperbarui: 4 April 2022   12:29 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.gramedia.com

Ketertarikan awal saya sama buku ini murni karena judul.

Si penulis, Mark Manson, pakai “F” word untuk memperkenalkan buku yang pada labelnya digolongkan sebagai “self-improvement” ini.

Iya, bisa dibilang ini sejenis buku motivasi.

Saya tak punya ketertarikan khusus pada buku motivasi atau self-help. Satu-satunya buku penyemangat yang tuntas saya baca cuma ‘7 Kebiasaan Efektif Remaja’ karya Sean Covey. Lagian terlalu banyak judul buku motivasi yang sudah dicetak dengan bermacam formula, trik rahasia, inovasi perdana dan label menor lainnya tentang cara mencapai hidup sukses dalam satu minggu atau bagaimana membuat orang lain takluk hanya dengan 30 detik.

Walau optimisme adalah nilai yang (dianjurkan untuk) dipercayai masyarakat pada umumnya, tapi terlalu banyak jenis ajaran untuk melihat hidup dengan cara positif atau tips ini-itu untuk transformasi diri secara instan dan itu bisa memuakkan.

Di sinilah Manson muncul dengan metode yang agak lain. Ia mendekonstruksi nilai optimisme yang selama ini lebih banyak dikonsumsi orang-orang. Memang intisari pemikiran Manson masih menyoal pandangan hidup yang positif, tapi titik acu dan cara yang dia tawarkan bisa dibilang jungkir balik dibanding metode yang dipakai motivator kebanyakan.

Misalnya, coba bayangkan ketika Anda secara emosional sedang ada di titik terendah atau Anda mengalami krisis identitas diri, lalu muncul seseorang yang menawarkan pencerahan namun kalimat awal yang diucapkannya justru, “Jangan pernah berharap. Kau memang tidak istimewa dan kau selalu keliru atas segala hal.”

Kampret kan? Tapi itu semua bukan sekadar permainan kalimat. Manson betulan serius soal anjurannya. Optimisme tentang hidup, tentang diri sendiri, bagi Manson lebih sering mirip kayak racun yang nikmat. Enak ditelan, tapi merusak di dalam.

Kata Manson, buku ini bukan tentang cara meraih sesuatu. Justru dia menulisnya untuk menciptakan kesadaran agar tegar melepas dan segera “menyerah”.

Tindakan Anda sebenarnya tidak berarti banyak dalam keseluruhan perjalanan sejarah dan sebagian besar hidup Anda akan berjalan membosankan dan tidak berharga, dan itu wajar.

Kalimat di atas terdengar mirip rengekan pecundang yang tak mau berusaha, namun bagi Manson efek yang diperoleh justru secara paradoks bermakna baik bagi kesadaran diri untuk berhenti cemas dan tertekan karena merasa diri tidak cukup dan terus menerus merasa perlu pembuktian diri yang semu.

Dan ini bagian yang paling saya suka, “Pengetahuan serta penerimaan terhadap eksistensi Anda sendiri yang sedang-sedang saja akan benar-benar membebaskan Anda untuk menuntaskan apa yang sungguh ingin Anda selesaikan, tanpa penilaian atau ekspekstasi yang muluk-muluk. 

Anda akan mampu mengapresiasi pengalaman-pengalaman sederhana di hidup Anda: nikmatnya pertemanan yang simpel, menciptakan sesuatu, membantu seseorang yang membutuhkan, membaca buku bagus, tertawa bersama seseorang yang Anda sayangi. Terdengar membosankan, bukan? Mungkin karena hal-hal semacam ini biasa saja. Namun juga mungkin karena satu alasan: karena itu yang benar-benar berarti.”

Saya menemukan dukungan pribadi dari pandangan Manson, karena salama ini saya memang lebih pilih memperkenalkan diri sebagai pribadi biasa yang punya tujuan hidup sederhana, tak muluk-muluk. Saya menggambarkan diri sebagai manusia realistis yang sadar akan batas kemampuan. Namun lebih sering orang-orang malah menanggapi secara negatif pandangan hidup yang letoy begitu. Tapi bisa dimaklumi. Budaya kompetisi, pemeringkatan, berjuang untuk kemegahan dan yang semacamnya memang lebih dihargai kebanyakan orang.

Tapi Manson dan buku karya pertamannya ini membuat saya tak lagi merasa terlalu bersalah karena memilih jadi tidak ambisius dan santai menjalani hidup yang “biasa-biasa”.

Kalau dirangkum secara singkat (tentu ini subjektif), buku ini adalah ajakan Manson agar orang-orang tak perlu capek menipu diri dengan optimisme yang keliru, palsu. Yang terpenting adalah menerima diri sendiri secara paripurna, berdamai dengan kegagalan, penderitaan, kematian dan berjejer hal sialan yang tak bisa dihindari selama kita masih hidup. 

Lalu lewat penerimaan akan kenyataan kalau hidup ini lebih banyak suramnya, justru sesudahnya optimisme dan makna hidup yang sejati bisa didapat. Sebuah efek paradoksal yang ia sebut sebagai pendekatan yang waras demi menjalankan hidup yang baik.

Saat tuntas di halaman terakhir buku ini, saya jadi ingat lagi seruan Nietzsche, “He who has a why to live for can bear almost any how.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun