"Sepak bola bukan sekadar olahraga."
Jelas, publik awam sudah mengakui. Tapi untuk menjadikan sebuah klaim tampak meyakinkan, harus ada bukti ilmiah yang ikut mendasari. Bukan cuma cuap-cuap heboh di kantin saat makan siang, dibutuhkan penjelasan empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
Franklin Foer, seorang jurnalis Amerika Serikat, menggiring klaim "sepak bola bukan sekadar olahraga" ke ranah yang lebih serius lewat bukunya yang dijuduli "How Soccer Explain The World: The Unlikely Theory Of Globalization". Buku setebal 248 halaman yang sudah di-Indonesia-kan dengan judul "Memahami Dunia Lewat Sepakbola" oleh penerbit Margin Kiri ini memang cukup lawas (terbit awal 2004), namun bobot isinya masih punya wibawa untuk menjelaskan dunia persebakbolaan terkini.
Buku yang digarap Foer hampir satu tahun ini tidak melulu didasarkan pada telaah literatur, menariknya, ia memutuskan berkeliling dunia demi menyaksikan sendiri bagaimana sepakbola sebagai sebuah fenomena dimaknai oleh bermacam latar belakang budaya.
Dengan kejujuran, ketajaman yang sering nyelekit, terkadang diikuti lelucon renyah, Foer menampilkan sepakbola secara utuh dan dalam. Bukan hanya sisi positif nan menghibur, namun aspek kelam dan brutal yang ternyata menjadikan permainan ini lebih rumit dari sekadar mencetak gol dan menang.
Foer, misalnya, jadi saksi bagaimana rivalitas di luar nalar yang tercipta antara dua tim kawakan asal ibukota Skotlandia, Glasgow: Celtic dan Rangers.
Ia memaparkan kondisi "Old Firm Derby" yang benar-benar mencekam di antara hooligan garis keras kedua tim. Bukan cuma adu kuat di atas lapangan, Celtic dan Rangers merupakan representasi konflik sektarian berkepanjangan yang banyak memakan korban di Skotlandia; Celtic mewakili minoritas Katolik, sedangkan Rangers menjadi perpanjangan tangan kaum Protestan yang menjadi agama resmi negara.
"Hari pertandingan Celtic dengan Rangers selalu menjadi hari yang paling rawan gesekan. Pertikaian ini telah menghasilkan kisah-kisah horor dalam persepakbolaan. Ada yang ditolak bekerja karena mendukung tim lawan. Ada fans yang dibunuh karena mengenakan kaos yang salah di lingkungan yang salah. Perseteruan Celtic dengan Rangers lebih dari sekadar kebencian terhadap orang terdekat. Inilah perang yang belum tuntas antara Katolik dengan gerakan reformasi Protestan."
Rivalitas garis keras antara Celtic dan Rangers, duga Foer, berlangsung bukan lagi hanya demi rivalitas itu sendiri, melainkan dilestarikan untuk meraup provit besar bagi berbagai pihak.
Globalisasi yang mengkontaminasi sepakbola juga membuka ruang bagi kaum oportunis untuk menyusup ke dalam tim dan menjadikannya alat efektif demi mencapai kepentingan tertentu.