Awal tahun 2000 hanya ada satu Ronaldo; botak, gempal dan mematikan di depan gawang. Waktu pun berlalu, orang-orang mulai perlu konfirmasi ulang jika bersinggungan dengan nama Ronaldo. Seorang remaja Portugal bernama sama mulai mendapat porsi pembicaraan publik berkat performa menawannya bersama Manchester United.
Dunia mulai mengenal dua Ronaldo.
Kini, marwah nama Ronaldo kembali mengerucut pada sosok tunggal. Tanya saja pada Google, sehalaman penuh hasil pencarian kata kunci "Ronaldo" diberikan untuk CR7. Si Fenomenal berperut buncit sudah resmi terlupakan.
Cristiano Ronaldo adalah manusia rekor. Baru semalam, 05 Februari, usianya genap 33 tahun, tapi apa lagi yang perlu ia buktikan? Kecuali trofi Piala Dunia, Ronaldo sudah mencapai segala yang mungkin diraih seorang pesepakbola profesional.
Kebanyakan orang akan melihat Ronaldo sebagai sosok bengah. Arogansinya mungkin tidak cocok dengan basa basi rendah hati budaya timur, tapi jika mencoba objektif, maka ungkapannya soal "saya ganteng, terkenal dan kaya" akan terdengar sama saja seperti "mawar itu merah".
Dia berkata apa adanya.
"Orang-orang menilaiku arogan, tapi mereka harus benar-benar mengenalku, menjadi temanku, menghabiskan hari-hari denganku untuk tahu siapa Ronaldo sesungguhnya."
Ia memang bukan tipe pemain yang karakternya gampang mendapat simpati publik semacam Scholes atau Kaka', tapi pengaruh positifnya bagi banyak orang sungguh pantang diremehkan. Ia tidak pelit jika menyangkut masalah kemanusian. Jangan hitung berapa juta dolar yang sudah ia donasikan. Mulai dari Nepal hingga Aceh, mulai dari pengidap kanker hingga pengungsi Suriah. Ia mungkin punya banyak haters, tapi soal sisi humanis, dimohon untuk angkat topi buatnya.
Masa lalu mungkin punya andil terhadap sikapnya yang dermawan. Ronaldo kecil tidak berasal dari keluarga berlatar borjouis. Ia tak tumbuh dengan minum susu, vitamin warna-warni dan tidur siang.
Ronaldo bahkan dilahirkan setelah sebelumnya tidak diharapkan lahir.
Ibunya, Dolores, hampir menggugurkan si anak bungsu karena alasan ekonomi.
Sedangkan Diniz, Ayahnya, hidup dalam kecanduan alkohol. Hingga kematiannya tahun 2004, Ronaldo mengakui tidak pernah merasakan Diniz sebagai sosok Ayah ideal.
Sejak kecil, Ronaldo adalah pribadi yang kompetitif. Ia membenci kekalahan lebih dari apapun. Ron kecil sering merengek jika gagal menang atau kebetulan tidak mendapat operan bola. (Di masa depan, kebenciannya terhadap kekalahan, pada beberapa kondisi, malah membuat ia dibenci.)
Sebelum menjadi pemain profesional, bakat Ronaldo diakui banyak orang. Â Tapi hal yang sama juga dirasakan oleh Freddy Adu, Adriano, Macheda dan ribuan wonderkid lainnya. Lantas, apa yang kemudian menjadikan Ronaldo berlabel pemain terbaik dunia sedangkan yang lain harus luruh sebelum tumbuh?
"Saya hampir setiap hari menangis ketika meninggalkan keluarga dan masuk akademi Sporting Lisbon," kata Ronaldo. "Itu masa-masa yang sangat sulit".
Rasa rindu (yang diakui Dilan berat), perbedaan logat bahasa dan sempat jadi korban bullying, Ronaldo menghadapinya sendirian.
Ia memang sering terisak, tapi itu tak membuatnya berhenti bergerak.
Ketika pemain lain pulang dan beristirahat setelah training rutin, Ronaldo memilih tetap tinggal dan berlatih.
Malcolm Gladwell, jurnalis dan pembicara ternama, dalam bukunya "Tipping Point" mensyaratkan latihan minimal 10.000 jam untuk menjadi brilian dalam satu bidang dan Ronaldo jelas memenuhi syarat itu sejak muda.Â
Ia juga memiliki obsesi besar, target jelas dan terarah untuk "menjadi pemain terbaik dunia"--bukan sekadar resolusi tahunan yang dibuat sebelum tutup tahun dan tidak dijalankan sampai tersedia tahun berikutnya lagi untuk membuat resolusi.
Satu hal yang sedikit disesalkan adalah ia mesti berbagi era yang sama dengan Lionel Messi. Jika saja La Pulga eksis di lain waktu, Ronaldo bisa saja akan jadi pemain terbaik dunia untuk satu dekade penuh. Namun tampaknya adil membagi rata jatah trofi Ballon d'Or untuk mereka berdua.
Tapi sebagai dua matahari yang terbit di hari yang sama, Ronaldo dan Messi tidaklah identik. Â Mengenai hal tersebut, sebagai sesama pesebakbola pro, Eto'o dan Tevez punya jawaban seragam; Messi terlahir dengan bakat luar biasa sedangkan Ronaldo adalah representasi kerja keras dan komitmen.
Segala yang dilakukan Messi di atas lapangan adalah anugerah Tuhan terindah dalam sepakbola--tapi berapa dari kita yang beruntung bisa ketiban rezeki talenta lahiriah yang sama?
Maka dari itu Ronaldo hadir untuk menjadi inspirasi yang adil.
Ketika kebanyakan dari kita terlahir bukan sebagai Messi atau Einstein, cara bersih tersisa untuk mencapai puncak adalah dedikasi dan kerja keras.
"Tanpa pengorbanan, kita tidak bisa meraih apa pun," ucap Ronaldo.
Benar, kalimat itu diucapkan berulangkali oleh para manusia yang telah mengubah sejarah. Â Â Â Â
Ronaldo telah banyak berkorban untuk semua yang ia peroleh hari ini.Â
Leo Messi tidak butuh usaha keras untuk jadi luar biasa. Â Sedangkan Ronaldo tidaklah seperti itu.
Entah seberapa besar beban latihan yang rutin ia tanggung di gym, jam-jam panjang yang ia habiskan untuk tetap berada pada level tertinggi.
Tapi justru karena itu Ronaldo terasa lebih dekat dengan kita yang kebanyakan hanyalah manusia "biasa-biasa". Ronaldo menunjukkan kalau pasti akan ada cara jika ambisi telah bertemu dengan tindakan nyata.
Ia jadi bukti jika siapa saja punya daya menciptakan sendiri kondisi yang diinginkan dari sumber daya yang tampak terbatas.
33 tahun umur Ronaldo, banyak yang berucap karirnya sudah menjelang senja kala. Ronaldo mulai kehilangan ketajaman, kecepatannya pun tidak semenakutkan dulu. Seperti Pele, Maradona dan tentu saja Messi, kaki-kaki Ronaldo memang tidak akan selamanya berlari dan mencetak gol.
Tapi sebelum saat itu tiba, sebelum publik menangisi kepergiannya, beruntunglah kita yang masih punya kesempatan beberapa tahun lagi menyaksikan hal-hal terbaik yang masih tersisa dari Ronaldo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H