Masokisme sering diartikan dengan masalah kejiwaan yang berhubungan dengan kelainan dalam menikmati hubungan seksual.
kamuskesehatan.com mendefinisikan masokisme sebagai “kesenangan yang berasal dari rasa sakit fisik atau psikologis yang ditimbulkan pada diri sendiri baik oleh diri sendiri atau orang lain.” Jadi, masokis tak selalu mesti dilakukan lewat siksaan secara fisik, ada juga kegiatan menyakiti diri yang tergolong bersifat psikis. Tapi tahukah Anda, beberapa kebiasaan yang terkesan “normal” berikut ini bisa digolongkan sebagai kecenderungan masokistis. Apa saja?
Tak Pedas Tak Puas
Hampir semua orang pernah menyantap cabai, lada atau bahan makanan lain yang bisa menimbulkan sensasi “menggoyang” di lidah, mengucurkan keringat dan sanggup memerahkan wajah. Ada yang suka makanan pedas karena dianggap berkhasiat. Misalnya cabai yang mengandung capcaicin, zat yang terbukti punya kemampuan mencegah hipertensi, meningkatkan nafsu makan dan bersifat anti-bakteri. Yang lain malah menjadikan makanan berasa pedas sebagai hidangan wajib yang mesti dinikamati dengan cara yang kadang cenderung berlebihan.
Tapi ilmuwan berpendapat unik. Manusia yang suka memakan makanan pedas dianggap tak menyukainya karena “rasa”, sebab pedas tak tergolong di antara anggota “kesan” yang bisa dikecap oleh lidah (manis, pahit, asin, dan asam). Sensasi pedas yang menjalar di lidah dan seluruh area mulut lebih mirip dengan rasa nyeri. Jadi bisa disimpulkan, mereka yang menyukai makanan dengan kadar kepedasan yang ekstrem diduga menemukan kenikmatan tersendiri pada rasa nyeri. Nyeri tentu tergolong salah satu dari banyak jenis rasa sakit.
Seperti yang dikutip detik.com dari artikel di NY Times, Dr Paul Rozin, seorang ilmuwan dari University of Pennsylvania punya bukti ilmiah yang menunjukkan jika mereka yang menyukai makanan pedas tergolong pelaku masokisme “jinak”. Dikatakan "jinak" karena tak terlalu berbahaya namun tetap digolongkan terhadap aksi menyakiti diri sendiri.
Lewat eksperimennya, Dr Rozin menyajikan panganan yang berisi kandungan sambal dengan kepedasan bertingkat. Ia lalu meminta para partisipan penikmat makanan pedas untuk memakan sajian itu satu per satu berdasarkan tingkat kepedasan, hingga si 'kelinci percobaan' menyerah karena tak tahan!
Saat ditanya pada level mana rasa pedas itu terasa paling nikmat, mayoritas partisipan memilih satu level persis di bawah level yang tidak tertahankan. Pilihan tingkat kepedasan yang paling tinggi ini disimpulkan oleh Dr Rozin sebagai bentuk masokisme.
[caption id="attachment_377527" align="aligncenter" width="420" caption="(sumber: kharismundiri.mywapblog.com)"][/caption]
Mari Menggalau lewat Lagu
Ini saya alami sendiri dan mungkin saja sudah dirasakan oleh banyak orang. Mendengarkan lagu dengan isi lirik atau nada tertentu bisa menimbulkan efek “menyakitkan” di tubuh dan pikiran seseorang. Apalagi jika lagu tersebut terkoneksi dengan kenangan tak mengenakkan di masa lalu, entah itu dengan kejadian traumatis atau ingatan tentang orang-orang yang kepergiannya mati-matian berusaha kita lupakan. Keterhubungan sebuah lagu dengan laci-laci ingatan buruk tentu akan mudah memicu depresi dan rasa stres bagi mereka yang (sengaja atau tidak) menguak ingatan pedih yang terselip di balik sebuah lagu. Tapi tak tahu mengapa, kadang sakit yang dihasilkan lagu-lagu tersebut malah menghasilkan efek ketagihan dan bahkan ingin berulang-ulang dilakukan walau hasilnya bakal tetap sama: menyakitkan!
Memang, belum ada penelitian ilmiah yang saya dapati yang secara detail membahas hal ini dari segi psikologis dan klinis. Tapi mendasarkan pada definisi masokis yang merupakan aktivitas menyakiti diri sendiri baik secara fisik maupun psikis, tampaknya penggunaan lagu untuk menghadirkan memori atau kenangan buruk yang dilakukan berulang-ulang dan menghasilkan “kenikmatan” tersendiri bisa digolongkan sebagai tindakan masokis.
[caption id="attachment_377528" align="aligncenter" width="399" caption="(sumber: www.bibeh.com)"]
Mulai dari Dilempar Telur Busuk sampai Diikat di Pohon
Sama seperti efek masokis yang ditimbulkan lagu, penggolongan tindakan masokis yang ketiga juga berdasarkan dari pengalaman pribadi. Beberapa waktu yang lalu saat melewati area kampus, saya melihat sekumpulan orang berkerumun di pinggir sebuah danau mini tepat di depan perpustakaan universitas. Keramaian tersebut ternyata berasal dari sekumpulan mahasiswa yang sedang memberi kejutan pada seorang teman mereka yang kebetulan ulang tahun hari itu.
Harusnya, dirgahayu jadi hari bahagia bagi siapa saja yang merayakannya, tapi kondisi orang yang sedang ulang tahun itu malah tampak mengenaskan. Badannya dipenuhi tepung dari ujung kepala hingga ke mata kaki. Di rambutnya juga tampak ceceran lendir berwarna kuning yang baunya sungguh tak sopan dan dapat tercium dari jarak yang cukup jauh. Teman-temannya tampak menikmati saat telur busuk itu menetas dengan paksa di batok kepala. Merasa tak cukup sadis memermak total wujud gadis muda itu, mereka kemudian menarik tangan dan kakinya, mengayunkan beberapa kali dan lalu melemparkan tubuh malang milik manusia yang jelas masih bernyawa tersebut ke dalam air danau yang keruh dan berlumpur karena kemarau. Jebless!! Air memercik ke mana-mana. Sialnya, saya kebagaian beberapa tetes air danau yang terkontaminasi ragam zat sialan itu.
[caption id="attachment_377529" align="aligncenter" width="420" caption="Sadis Bro! (sumber: sobatbercahaya.blogspot.com)"]
Di hari dan tempat yang lain, saya juga beberapa kali--bahkan bisa dikatakan sering--menonton kejadian yang serupa. Entah sudah jadi budaya dan dilegalkan sebagai ritual wajib saat sedang menyambut ulang tahun, telur busuk dan sekantung tepung akan selalu meluluri sekujur tubuh orang-orang yang sedang tak mujur memperingati hari lahirnya di hadapan teman-teman akrab. Hanya saja ada beberapa variasi "penyiksaan". Selain diceburkan paksa ke dalam danau, saya juga pernah melihat anak laki-laki diikat paksa di sebuah pohon yang tumbuh di taman dengan tali tambang yang disimpul mati sambil dilempari dengan bom tepung dan ranjau telur busuk. Setelah puas, para penyiksa meninggalkan korbannya yang tak berdaya dalam keadaan terikat dengan tubuh menguarkan bau 'khas' dan harus menghadapi tatapan penuh tanya orang-orang yang tak tahu apa-apa dan kebetulan ada di lokasi yang sama.
Kenapa saya sebut masokis? Sederhana saja. Mereka yang disiksa dengan cairan janin ayam dan bubuk pembuat roti tampaknya sangat-sangat menikmati saat mereka “dihina” di depan publik! Tak ada raut kesal atau benci saat teman-temannya (kalau memang mereka pantas disebut sebagai “teman”) memberondongi badannya dengan ragam benda menjijikkan tersebut. Malah, rata-rata tampak senang dan seperti ingin memekik girang, “siksa aku. Ah, siksa lagi..”--mirip dengan adegan seksual bergenre "BDSM".
Belum lagi keterkejutan saya pada rasa tega sang teman yang sanggup mempermalukan sahabatnya sendiri di depan umum dan terkesan menikmati setiap detik rintihan manja minta ampun (yang dibuat-buat) saat aksi penyiksaan terjadi.
Lagi-lagi, saya tak menemukan adanya kajian ilmiah-empiris yang dapat membenarkan klaim masokis yang saya buat tentang ritual 'sadis' di hari ulang tahun ini. Tapi jika melihat definisi masokisme yang telah saya muat sebelumnya, kelihatannya aksi mempermalukan orang lain di depan umum dan si korban yang menikmati saat dipermalukan, merupakan kecenderung masokistis dalam aspek psikis.
Jadi.. masokiskah Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H