“Ah, serius Bang?!” Pekikku tak tahan mendengar kisah abnormal yang diceritakan seorang karyawan di sebuah perusahaan tempatku sempat menjalani praktik kerja lapangan (PKL) dulu.
Bersama dua teman yang lain, hari itu kami ditugaskan melakukan monitoring kandang ternak milik perusahaan yang dijadikan bagian dari program andalan CSR (Corporate Social Responsibility). Karena perusahaan itu terletak di salah satu daerah di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, yang menjadi basis etnis Batak, tentu ternak yang dijadikan produk unggulan untuk menarik simpati masyarakat lewat aksi CSR adalah babi. Babi yang ditangkarkan pun bukan jenis sembarangan. Babi bule ini katanya kelahiran Australia dari varian landrace. Bulunya yang putih bersih ditambah postur besar nan montok, menjadikan jenis babi yang satu ini punya nilai ekonomis yang cukup tinggi di sana.
Sambil melihat karyawan perusahaan memanjakan para babi-babi dengan siraman mandi pagi plus sarapan dedak bergizi, kami mengisi rutinitas harian itu sambil bercerita mengenai pengalaman masing-masing dengan hewan berhidung lemper tersebut.
Pekik “ah, serius Bang?!” berulang-ulang tersembur dari mulutku ketika mendengar pengalaman yang pernah dialami seorang karyawan dengan babi. Karyawan itu bernama Asmar. Sebelum bekerja di perusahaan pengolah bubur kertas terbesar se-Sumut tempat kami ber-PKL, Bang Asmar sempat menafkahi diri di salah satu peternakan yang ada di daerah Jawa Timur. Mendengar kata “Jawa Timur” mungkin terasa biasa. Tapi jadi berkesan beda ketika kata itu disandingankan dengan sebuah lokasi yang kita sebut dengan “ternak babi”. Sebagai provinsi yang dikenal agamis dan menjadi wilayah dengan populasi Nahdliyin terbesar di dunia, tentu mengejutkan jika babi bisa bertahan hidup di sana apalagi sampai beranak pinak puluhan ribu dan bersatu padu membentuk sebuah peternakan!
Yang lebih mengejutkan lagi, pemilik peternakan tak berbapak Batak, Cina atau Manado. Bukan juga beragama Buddha atau Kristen. Makanya aku lagi-lagi mengucap “ah serius Bang?!” saat Bang Asmar mengatakan bosnya itu seorang Jawa tulen dan terlahir muslim.
Awalnya aku sempat tak mau menganggap serius apa yang diucapkannya dengan pikiran kalau tak mungkin ada babi berjumlah ribuan yang nekat membentuk “perkampungan” di tengah ancaman pembantaian yang bisa terjadi kapan saja. Tapi kemudian ceritanya mulai masuk akal ketika ia mengatakan babi-babi itu ‘disembunyikan’ di sebuah lokasi di tengah hutan dan dirawat di sana hingga tiba waktunya diangkut dan dilepas ke berbagai daerah di seluruh Indonesia—bahkan mampu jadi komoditi ekspor! Keterkejutanku tak habis ketika ia menyebut titel “H” (yang berarti “haji”) yang terletak di depan nama sang bos berasal dari jasa-jasa para babi. Bukan, maksudku bukan babi-babi itu yang patungan membayari si bos pergi ke tanah suci. Namun, hasil penjualan babi ternyata sanggup memberikan kesempatan kepada seorang muslim untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Toleransi yang ganjil, pikirku.
Lain lagi pengalaman temanku yang PKL di lokasi terpisah. Sedikit lebih beruntung dari kami yang berpraktik di daerah pedalaman, temanku ini mendapat kesempatan mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di perkuliahan jauh ke tanah Jawa, tepatnya di Bandung, Jawa Barat.
Dia dan babi punya cerita lain. Jika sebelumnya berkisah tentang kehidupan sejahtera babi-babi di peternakan, si teman ini menceritakan kisah pilu saat para babi dipenggal, dicincang dan dibakar untuk jadi pelengkap hidangan mie, nasi goreng atau cap cai. Sebenarnya biasa saja jika daging babi jadi panganan yang cocok dipadu-padan dengan kuliner lain. Tapi kalau panganan itu ada di daerah se-Islami Bandung dan dijual tak jauh dari sebuah mushola, masih “biasa saja” kah?
Temanku itu bercerita bagaimana asap bakaran babi mengepul berseliweran di udara sebuah daerah di kota Bandung dan mungkin saja terhirup jamaah yang akan pergi ke mushola untuk menunaikan ibadah sholat. Kalau dipikir-pikir, aneh dan kurang pantas jika penjual tetap saja menjajakan mayat babi yang sudah dimasak di sekitar area dengan mayoritas penduduk yang agamanya anti-babi. Lebih anehnya lagi, mengapa tak ada yang unjuk protes?
---
Di kota Medan tempatku sekarang tinggal, tak sulit menemui babi, terutama yang sudah dibumbui. Mudah menemukan warung atau rumah makan yang di depannya tercantum plang “sedia babi panggang” all varian.
Bahkan di satu tempat, ada tiga rumah makan yang berjejer berdempetan yang khusus menyediakan kuliner berbahan dasar hewan yang konon pernah dicicipi anak Pak Jokowi, Kaesang Pangareb, ini. Di tempat yang letaknya tepat di pinggir jalan itu, tergantung potongan tubuh babi malang yang pasrah diolah jadi apa saja. Lagi-lagi, asap hasil bakaran babi tak jarang berhembus sepoi-sepoi ke arah jalan raya. Walau aku bukan muslim, ada rasa risih ketika asap itu terendus pengguna jalan lain yang mengenakan jilbab atau berpenampilan islami saat lalu lintas jalanan sedang macat. Jujur saja, sebagai minoritas, harusnya ada rasa sadar diri untuk menghormati dan tenggang rasa dengan yang lain apalagi warung tersebut sudah diberi kesempatan untuk berdiri dan beroprasi sejak lama tanpa gangguan berarti.
Harus diakui, kuliner babi identik dengan kota Medan, setidaknya dilihat dari populasi rumah makan yang menyediakan panganan yang berbahan dasar babi. Tapi bukan berarti, babi selalu bisa hidup damai di daerah ini.
Pernah, ratusan aparat gabungan dari Polisi, TNI dan Satuan Polisi Pamong Praja “berperang” melawan babi-babi. Bentrok berdarah ini menyebabkan enam orang mengalami luka-luka. Perang yang dimaksud adalah razia besar-besaran. Berbekal laporan warga yang merasa terganggu dengan kehadiran kandang babi yang baunya semerbak memualkan, dinas peternakan Pemkot Medan melakukan perburuan ke setiap rumah warga yang kedapatan merawat hewan yang saat kecil nampak imut tapi kalau sudah besar terlihat mengesalkan itu.
Pasca kejadian kelam tersebut, babi-babi direlokasi. Dipindah ke tempat lain yang dianggap layak untuk ditinggali si hidung lemper. Namun, ada kabar burung yang mengatakan, warga di lokasi razia nekat membuka kembali peternakan babi dengan cara disembunyikan di bagian bawah rumah mereka. Yah, bisa dimaklumi. Kalau babi bisa menghajikan seseorang, tentu dirinya juga mampu melakukan hal mahal lain.
---
Ah, babi.. babi. Nasibnya prihatin sekali.
Diharamkan, dibantai untuk dijadikan makanan, dikejar-kejar satpol PP, dianggap hama, dipakai sebagai kata makian populer, di-bully di banyak kalimat peribahasa, flunya membahayakan, dicomot seorang anggota ISIS bernama Abu Jandal Al Indonesi untuk mengumpat Indonesia, sampai-sampai kata “babi” di mesin pencarian Google pun tak punya “saran kata” saat diketik.
Apakah babi sakit hati spesiesnya didiskriminasi?
Entahlah, hanya para babi dan Tuhan yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H