Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Hinaan Roger Milla dan Sakit Hati karena Radja Nainggolan

27 Maret 2015   20:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:54 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang paling menarik perhatian saya pasca pertandingan tim nasional Indonesia versus para Singa Perkasa, Kamerun, dua hari yang lalu (25/3) bukan soal skor akhir atau kemantapan I Made Wirawan di bawah mistar gawang, tapi komentar yang tercuat dari mulut legenda Kamerun yang pernah beberapa saat mencari nafkah di persepakbolaan Indonesia, Rogger Milla.

Pemain yang mendapat sorot hormat di piala dunia 1994 karena menjadi pencetak gol tertua di gelaran turnamen sepak bola terbesar sejagat itu mengatakan jika ujicoba melawan Indonesia (dan Thailand) hanya merendahkan martabat timnas Kamerun. Ia juga menambahkan, pertandingan yang dihelat di Sidoarjo tersebut tak lebih dari sekadar akal-akalan FECAFOOT (PSSI-nya Kamerun) untuk mencari kepentingan finansial semata. Alasannya, Kamerun yang sekarang duduk manis di peringkat 49 ranking FIFA sungguh tak layak dijadikan lawan tarung tim yang terseok dengan margin 107 tingkat di bawahnya. Lebih baik skuad yang sudah tujuh kali ikut World Cup itu menguji diri dengan tim lain yang selevel atau setingkat lebih kuat.

Indonesia memang bukan apa-apa di persepakbolaan dunia. Bahkan jika indikatornya adalah peringkat bikinan FIFA, di Asia Tenggara pun pasukan burung garuda mesti minder karena cuma jadi penghuni posisi tujuh. Meski kemudian komentar pedas Milla tersebut dikritik banyak pihak karena dianggap terlalu arogan, bagi saya, kejujuran memang terkadang terkecap pahit. Roger Milla yang sempat bermain bersama Persisam dan Pelita di Liga Indonesia, punya dasar matematis dan teknis untuk berkata sekejam itu.

[caption id="attachment_375211" align="aligncenter" width="500" caption="Milla: Bertanding lawan Indonesia, rendahkan Kamerun (sumber: www.gonews.it)"][/caption]

“Sakit hati” karena perkataan Roger Milla bertambah ketika Indonesia “membenarkan” tudingan Milla dengan kekalahan di stadiun Gelora Delta. Biar pun cuma ditaklukan satu gol buatan striker Porto, Vincent Aboubakar, tapi statistik yang dirilis labola menunjukkan jika Indonesia terlihat sangat inferior di hadapan Kamerun. Tengok saja persentase penguasaan bola yang begitu jomplang: 67% berbanding 33%. Total tembakan pun berbanding kontras. Kamerun membombardir 16 kali gawang I Made Wirawan dengan 8 di antaranya tepat sasaran, sedangkan Indonesia cuma dapat 3 kesempatan membuat tembakan ke arah Fabrice Ondoa, itu pun hanya satu yang shot on goal. Bahkan operan sukses Kamerun hampir 2 kali lipat lebih banyak (585) dibanding Tim Merah Putih (247).

Hasil itu memang sudah bisa diramal dan wajar. Malah, masih bagus gawang kita tidak koyak banyak berkat kegemilangan I Made Wirawan yang hari itu layak jadi man of the match.

Radja Nainggolan, Pemain Terbaik AS Roma Musim Ini

Setelah ucapan satire Milla dan kekalahan timnas dengan statistik yang mencolok, “sakit hati” saya jadi bertambah ketika melihat sebuah link berita yang memuat kabar tentang sosok bernama familiar yang kini membela klub elite Italia, AS Roma. Radja Nainggolan yang lahir berkat sperma orang Batak ini makin menjadi-jadi saja di Serie-A. Bagi saya, Nainggolan sudah menciptakan tragedi besar ketika lebih memilih mengenakan seragam Belgia (negara ibunya) dibanding membela panji-panji tanah kelahiran Bapaknya, Indonesia. Tragedi, karena kapan lagi Indonesia punya pemain bintang sejati yang tak cuma jadi penghias iklan sosis namun sudah dikenal reputasinya di Eropa? Seandainya pria Batak yang seragam I Lupi-nya bernomor punggung 4 ini mau pulang kampung, tentu ia akan menjadi aset paling berharga di sepanjang sejarah sepak bola nasional.

Saya lalu iseng mencari data dan fakta mengenai pemain yang berposisi  sebagai gelandang bertahan ini. Hasil beberapa situs database sepakbola yang presisi di internet seperti transfermarkt, whoscored, goal.com, worldfootball.net, dan lain-lain, menjabarkan statistik yang sukses buat ‘sakit hati’. Musim ini, bisa dikatakan sebagai top perform pemain kelahiran 1988 itu. Hingga pekan ke 28 Serie-A, Nainggolan sudah berlari di lapangan sebanyak 36 kali di semua ajang yang diikuti klubnya. Total 2852 menit kontribusinya dihiasi dengan 3 gol dan 5 assist. Bahkan yang lebih kerennya lagi, Radja Nainggolan 3 kali didapuk sebagai man of the match ketika timnya mempecundangi Fiorentina, Genoa dan Empoli di liga lokal.

Situs squawka.com juga memperlihatkan pemain yang sempat bermain di klub Serie-B, Piacenza ini, cuma kalah dari Miralem Pjanic dari segi menit bermain dibanding gelandang skuad “Sang Serigala” yang lain. Daniel de Rossi, gelandang bintang yang kenyang pengalaman di timnas juara dunia Italia, bahkan kalah bersinar dari segi jumlah penampilan di banding Nainggolan! Situs whoscored mengganjar Radja dengan rating performa rata-rata 7.11, mengalahkan Gervinho (7.04), il capitano Totti (6.94), bahkan Pjanic (7.08) sekalipun. Singkatnya, sampai detik ini, Nainggolan didapuk jadi pemain terbaik di Roma musim 2014/2015.

Final sakit hati terjadi ketika saya melihat ‘harga jual’ pria plontos ini di situs transfermarkt.co.uk. Ketika dipinang dari Cagliari juli 2014 lalu, Roma hanya perlu merogoh kocek sekitar 5.28 Juta Euro saja. Jika dirupiahkan, harganya saat itu “cuma" 75 miliar. Tapi lihat sekarang. Nainggolan berstatus sebagai pemain termahal kedua di AS Roma! Ia lagi-lagi hanya dikalahkan Miralem Pjanic dari segi harga jual. Tercatat, kontraknya sudah dibanderol 21 juta Euro, yang kalau dirupiahkan tembus ke angka 300 miliar atau naik hampir empat kali lipat! Francesco Totti dan Daniel de Rossi yang dianggap sebagai simbol klub pun tak mampu mendekati setengah harga pemain yang musim ini sudah mengantongi 12 kartu kuning tersebut.

Ah, sangat disayangkan memang, jika performa semolek itu hanya bisa dikagumi tanpa pernah mampu dimiliki oleh Indonesia. Walaupun sebuah tim tak mungkin dimenangkan seorang diri, tapi gila kalau berpikir jasa pemain sekaliber Radja Nainggolan tak akan berdampak luar biasa bagi lini tengah tim nasional Indonesia. Tapi kita tak bisa berandai-andai jika Nainggolan akan berpaling dari Belgia dan memilih bermain untuk Indonesia, karena aturan FIFA sudah jelas; setiap pemain yang memperkuat sebuah timnas senior tak boleh memperkuat negara lain seumur hidupnya. Selamat tinggal, Radja.

[caption id="attachment_375212" align="aligncenter" width="360" caption="Radja, talenta Indonesia yang dibajak Belgia."]

14274641881753001593
14274641881753001593
[/caption]

Satu-satunya yang bisa Indonesia harapkan adalah Tuhan mau berbaik hati melahirkan satu atau dua atau sebelas pemain bertalenta taraf Eropa yang bangga menyanyikan “Indonesia Raya” sebelum laga. Impian piala dunia mungkin masih terlalu tinggi kalau tim negara ini masih saja mencomot pemain asing “biasa-biasa” untuk dinaturalisasi dan tak mampu melahirkan produk dari rahim perempuan lokal yang mampu menarik atensi klub dari kompetisi Eropa atau Amerika Latin yang selama ini jadi kiblat persepakbolaan dunia.

Kalau saja “dongeng”—ketikastarting line up Indonesia berisi pesepakbola ber-skill luar biasa—bisa tercipta, Roger Milla tentu sumringah bahagia mengetahui timnasnya menghadapi lawan berkelas bernama "Indonesia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun