Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dayu Asa Si Mesin Tua

29 Maret 2015   13:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:50 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Derap mesin jahit masih terdengar mengalun bersama dininya pagi. Wanita paruh baya itu belum juga tertidur. Sepasang tangannya lincah mengurai kain di antara himpitan jarum mesin. Teliti. Sesekali kaki itu terhenti mendayu pijakan mesin jahit tua bermerek “Evergreen”.

“Mesin ini keluar pabrik tahun 1951,” katanya menegaskan panjangnya dekade yang sudah dilalui sang sahabat. Jarum jam baru saja meninggalkan pukul 3 pagi tepat.

“Pagi begini biasanya lebih tenang. Kalau mengantuk, ya tinggal seduh kopi.”

Lili, nama wanita itu. Aslinya Ong Sian Li, seorang penjahit rumahan. 47 tahun lalu ia lahir di Belawan.

“Awal menjahit mungkin sejak tahun 80an,” dia diam sejenak, berusaha mengingat, membuka laci-laci kenangan yang masih ia simpan, “atau mungkin setelah capek gonta-ganti kerja. Sudah agak lupa soalnya.”

Ia kembali menghentak pijakan mesin, mengulur tali dinamo cokelat yang beradu dengan sekoci besi. Pagi pun jadi meriah lagi.

“Kadang dalam satu hari bisa selesai sepasang baju. Apalagi kalau hari raya, pesanan mendadak naik. Kalau sudah begitu, bisa-bisa saya tak tidur lebih dari sehari,” seutas senyum tipis tampak samar di wajah Lili. Tak ada logat khas Tionghoa dalam suaranya. “Sejak kecil memang diajarkan cinta bahasa Indonesia,” ia menjawab alasan ketakfasihannya berucap Hokkien, bahasa Ibunya, sambil sesekali menusukkan benang ke lapisan kain hijau bergurat bordir bunga, yang tampaknya bakal jadi sepotong kebaya.

Sayup-sayup teriak kokok ayam terdengar. Padahal matahari masih jauh dari persinggahan pagi. Langit masih saja gulita.

“Pengalaman paling berkesan saat ada bule yang minta dijahitkan baju. Asalnya dari Jerman.” Lili terhenti sesaat. Sumringah. Ia kemudian melanjutkan kisah saat dulu mendapat orderan dari pasangan kulit putih asal negara Tim Panser. “Ramona nama istrinya, sedangkan Uli nama si suami.” Dua nama itu begitu membekas baginya. Alasannya? Ada ‘kado’ yang si Deutschland tinggalkan. “Nama anak ketiga saya, Alfon, diberikan oleh mereka berdua,” katanya.

Tak hanya sekali, “ada tiga orang Jerman yang pernah menjahit baju dengan saya,” lanjutnya sambil mengguntingi sisi kain, “semuanya ramah dan mengaku puas dengan hasilnya.”

Anak pertama Ibu Lili sudah bekerja di sebuah mini market franchise sejak 3 tahun lalu. Sedangkan yang kedua masih menimba ilmu di perguruan tinggi negeri di Sumatera Utara. Yang bungsu, Alfon, akan bertemu dengan bangku SMA sesaat lagi.

“Keuntungan dari menjahit tak banyak. Tapi masih cukuplah, untuk menabung seadanya.”

Ia menyebut jika menjahit adalah jenis pekerjaan yang fleksibel. “Enaknya, menjahit adalah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu bisa bekerja, tujuh hari dalam seminggu pula bisa jadi hari libur. Tergantung pilihan. Mau makan ya bekerja, mau miskin sia-sia, ya cukup tidur saja, ” ia tertawa kecil.

“Satu pasang baju bisa dihargai mulai dari ucapan “terimakasih” sampai lima ratus ribu rupiah.”

Tak selalu lancar, menjahit pun bisa berisiko kehilangan nyawa.

“Saya pernah tak sengaja menerima orderan dari orang yang kurang waras. Awalnya saya tak mengira dia gila, tampaknya normal-normal saja. Tapi saat pesanan yang dia minta selesai, tiba-tiba dia mengamuk sejadi-jadinya. Ia menuntut ganti karena merasa pakaian yang dia beri sebelumnya tak sama dengan yang ia terima.” Lili sadar saat itu ada sesuatu yang dibawa si pelanggan sinting di balik pakaiannya, “ia seperti menggenggam benda di tangannya yang disembunyikan di kantung. Saya takut. Suami tak di rumah, anak-anak juga sedang keluar semua.”

Akhirnya, Lili memberi selembar uang ratus ribu rupiah. “Anggap saja beramal sambil selamatkan nyawa,” ia terkekeh. Merahnya lembar uang ternyata sanggup membuat orang kurang waras itu pergi juga. Entah benar gila atau pura-pura buat memeras, Lili yakin ia bisa saja terluka jika tak menuruti permintaannya.

“Yang paling menyakitkan bukan kejadian itu saja. Ketidakpuasan pelanggan jauh lebih menakutkan buat saya,” ada keseriusan dalam sepasang tatap matanya. Ia pernah kehilangan uang dalam jumlah yang besar karena pakaian yang sudah selesai hilang dicuri pelanggan lain.

“Mungkin sudah ribuan orang yang datang dan pergi. Ada yang tetap bertahan jadi pelanggan sampai sekarang, ada juga yang hanya muncul musiman, tapi sempat ada yang menjahit cuma sekali lalu tak mau balik lagi karena merasa kurang sesuai dengan jahitan saya. Rasanya sedih sekali.”

Semua pahit yang pernah ia kecap tak membuatnya berhenti mengunyah rasa yang kehidupan sediakan.

Jika Socrates menyebut hidup adalah tentang kebiasaan, maka Lili punya ratusan juta detik yang alurnya tak jauh-jauh dari benang, jarum dan bunyi derap mesin jahit tua. Ia sudah punya sebentuk hidup dalam setiap jahitannya. Menjahit baginya sudah sejalan dengan tarik-tiup nafas. Dan di akhirnya, warna-warni yang melekati dayu si mesin tua cuma punya satu harap singkat dari Lili, “..akan menjahit sampai mati.”

[caption id="attachment_375505" align="aligncenter" width="417" caption="Lili, bersama dayu mesin jahit yang menghidupinya."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun