Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Tukang Sate Satukan Para Pendusta

31 Oktober 2014   07:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:05 2748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Social media kembali gempar. Aktifitas kontroversial netizen lagi-lagi jadi penyebab.

Kali ini seorang pengguna situs jejaring sosial Facebook yang kena bala.

MA, pria muda yang sehari-hariya berprofesi sebagai penjaja sate, diciduk polisi 23 Oktober lalu. Pasalnya, MA dituduh mengunggah konten pornografi berbentuk foto ke akun FB miliknya. Bukan sekadar gambar porno, objek yang termuat di dalamnya pun tak sembarangan. Konon dalam salah satu posting-an MA, si presiden RI terpilih, Joko Widodo dan ketua PDI-P, Megawati Soekarno Putri, digambarkan sedang bersetubuh.

Tentu bukan gambar asli, pelaku diduga memakai jasa sulap digital.

Seperti biasanya, kabar penangkapan MA dan pergerakan di media massa bagai minyak bertemu api; tersulut, lalu membara seketika.

Salah satu TV berita nasional  (yang berafiliasi dengan koalisi oposan Jokowi) langsung merakit agenda pemberitaannya dengan kabar masif mengenai penangkapan MA. Sudah bisa ditebak, substansi beritanya jelas tendensius menyerang pihak aparat keamanan yang disebut tega menangkap seorang tukang sate, yang oleh media tersebut, dilabeli dengan status melankolis: “pria lugu yang jadi tulang punggung keluarga.”

Gelombang pembelaan terhadap MA berdatangan dari beberapa pihak. Di twitter misalnya, muncul hashtag #SaveTukangSate yang cuma perlu waktu sekejap untuk jadi trending topic. Mulai dari mahasiwa, aktifis HAM hingga anggota DPR tak ketinggalan memasang wajah kesal terhadap tindakan polisi pada pria yang berdomisili di Ciracas, Jakarta Timur itu.

Alasannya, Jokowi yang baru menjabat sebagai pimpinan negara dianggap sudah bertindak terlalu reaktif terhadap kebebasan berekspresi. Mereka menyayangkan balasan berlebihan yang diterima MA akibat “candaannya” di media sosial.

Jokowi sontak mendapat bermacam tudingan, bahkan beberapa kalangan menganggap mantan Gubernur DKI ini sudah membawa kembali aura kelam rezim Orde Baru yang dulu dianggap memberangus kebebasan publik dalam beraspirasi.

Namun jika sudi, mari sejenak kita berhenti, membawa ingatan kembali ke masa beberapa bulan yang lalu saat Indonesia mendapat jatah tuan rumah pagelaran acara ratu cantik sedunia “Miss World”.

Awalnya, kontes tahunan tingkat internasional itu direncanakan akan dihelat di Ibukota negara, Jakarta. Namun, gelombang protes raksasa langsung menerjang panitia.

Gerombolan penolaknya nyaris beralasan sama, mulai dari “Miss World tak sesuai adat ketimuran”, “Miss Word adalah kontes pornografi”, “jangan jadikan negara ini sebagai pendukung simbol-simbol budaya vulgar milik barat”, dan sebagainya.

Akhirnya kontes yang dimulai sejak tahun 1951 itu dipindahkan pelaksanaannya ke Bali demi alasan keamanan.

Belum lagi kalau menyinggung kasus Florence yang sempat masuk bui karena menghina kota Yogyakarta dalam akun Path-nya. Perempuan berdarah Batak ini dipolisikan pasca mengumpat di media sosial tentang ketidaksenangannya dengan berbagai hal di kota yang dibawahi Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut.

Tak jauh beda dengan balada Miss World yang ditolak sekelompok massa, Florence langsung booming dan jadi sasaran hujat massal di situs jejaring sosial dan ragam media nasional.

Mereka yang kesal dengan Florence menganggap sungguh tak layak jika ada yang berani merendahkan sebuah daerah sesuka hatinya apalagi ikut menghujat masyarakat lokal yang mendiami daerah tersebut. Bermacam gerakan penolakan terhadap Florence bermunculan di social media, salah satunya lewat hashtag #UsirFlorenceDariJogja.

Ah, kalau coba kita hubungkan dua kasus di atas dengan skandal MA dan gambar porno berbau hinaan terhadap Jokowi, mudah menemukan sikap hipokrit akut yang diidap sekelompok orang.

Lihat saja, beberapa pihak yang dulunya lantang menolak penyelenggaraan kontes Miss World atas nama pornoaksi dan keras menghujat Florence lewat argumen jika "siapa pun tak pantas merendahkan martabat sebuah kota".. namun  kini pihak yang sama anehnya malah tidak terima dengan tindakan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap perbuatan MA.

Bukan apa-apa, tentu sungguh tak adil jika menyandingkan penolakan yang didapat Miss World—yang jika penyelenggaraannya di Indonesia dievaluasi sebenarnya jauh dari ajang pornoaksi—dibandingkan dengan dukungan beramai-ramai yang ditangguk MA yang sudah dengan sadar mem-posting pose bugil dan gambar berobjek hubungan seksual di ruang publik pengguna jejaring sosial lain.

Apalagi jika mengkomparasi isi penghinaan Florence yang mendiskreditkan sebuah kota dengan tindakan MA yang menghina bukan hanya satu kota, provinsi atau pulau, namun seorang yang secara konstitusi sudah menjadi simbol sebuah negara!

Kalau warga Yogya pantas mengamuk karena kotanya yang dihina, harusnya rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, wajib marah saat representasi negaranya direndahkan dengan cara yang begitu murahan.

Bahkan yang mengejutkan, beberapa media massa raksasa berhaluan politik tertentu malah dengan fatalnya memosisikan diri sebagai pembela tindak kriminal yang dilakukan MA seakan-akan media tersebut melegitimasi tindak asusila di ruang publik.

Tapi akhirnya kita patut mengapresiasi apa yang dilakukan oleh TV One.

Sebagai salah satu media massa ternama berformat teve berita, mereka dengan bijaknya memberi solusi jitu kepada kita, para pengguna situs pertemanan, bagaimana cara yang pantas dalam ber-sosmed, ketika pada salah satu rubrik pemberitaanya, sambil tersenyum sinis, salah satu presenter mengomentari berita penangkapan MA dengan berkata , “wah, jadi sekarang kita harus lebih hati-hati dalam menghina orang lain nih.”

Dengan kata lain, secara langsung si presenter memperbolehkan jutaan pemirsa lintas usia yang menontonnya untuk menghina orang lain, namun pelajaran pentingnya, hinalah dengan hati-hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun