“Maling! Maling!” teriak beberapa orang saat segerombolan polisi berpakaian preman merangsek masuk ke rumah salah satu warga yang diduga pengedar narkoba. Mengikuti teriakan itu, bangku, batu dan pecahan kaca terdengar memecah ketenangan pagi di belakang rumah saya.
Beberapa menit kemudian, riuh terdengar raungan motor memasuki lokasi. Bala bantuan dari polsek setempat datang di waktu yang tepat.
“Dor!” Saya sempat mengira ada yang menyalakan petasan. Tak kurang dari 10 letusan
Seorang Ibu menjerit. Ternyata ada anggota polisi berseragam lengkap yang melepaskan tembakan. Bukan apa-apa, massa yang tadi meneriaki mereka maling semakin tak terkendali. Polisi terpaksa unjuk aksi, peluru dimuntahkan ke langit pagi.
Saya terbirit-birit masuk ke rumah, takut ada pelor nyasar menghantam kepala.
Kedatangan bantuan polisi tadi tampaknya sanggup meredam bentrok. Pelaku berhasil diringkus. Plus, bonus seorang warga yang dianggap paling aktif memprovokasi dengan meneriaki maling para polisi dan sempat melemparkan bangku ke arah petugas keamanan. SL, inisialnya.
Besoknya, saya buru-buru mendatangi loper koran.
Benar saja, kejadian tersebut sudah tercetak di halaman depan salah satu surat kabar picis ternama. “Polisi Diteriaki Maling, Warga Diamankan” begitu kira-kira judulnya.
Di hari yang sama, saat pulang ke rumah, saya mendengar raungan sirene ambulans. Tetangga berbaris menanti.
“Ada apa,” tanya saya heran. Bukannya mereka sudah sering lihat ambulans?
“Si S meninggal,” kata Ibu penjual bumbu yang rumahnya terletak di depan kediaman saya.
Ia tahu saya penasaran.
“SL yang kemarin ditangkap polisi?”
“Iya, katanya dia disiksa di polsek.”
Ada informasi yang berkembang pasca penangkapan SL (yang mengalahkan gaung ditangkapnya si bandar narkoba). Ia disebut mendapat penyiksaan dari pihak polisi saat diinterogasi. Entah karena tubuhnya lemah atau karena siksaan yang diterima terlalu berat, SL tewas. Keluarga SL tak terima, karena sebelum ditangkap, SL adalah seorang pemuda yang sehat—ia dianggap mati tak wajar. Mereka menuntut visum.
Peristiwa ini terjadi di akhir 2014 lalu dan sampai sekarang tidak jelas akhirnya. Apakah si SL kebetulan sedang sakit dan lalu meninggal dunia. Atau, benar informasi yang menyebut jika dia tewas disiksa polisi. Tidak ada yang tahu.
Tapi bagaimana pun, jangan coba main-main dengan polisi.
Kejadian di atas serupa dengan yang dialami KPK.
KPK dan almarhum SL punya satu kesamaan. Mereka sama-sama nekat meneriaki polisi dengan kata “maling.”
Hasil akhirnya pun sama. SL tewas dan konon mendapat siksaan dari polisi. KPK tak lebih baik. Seluruh ketuanya sapu bersih dilaporkan. Satu malah sudah jadi tersangka.
Saya tak tahu banyak soal kasus KPK vs Polri. Namun sekali lirik saja, siapa pun bisa paham, Polri sedang “show-off” kedigdayaanya. Mereka lembaga kuat. Dengan kuasa dan senjata di tangan, mereka bisa berbuat apa saja.
Setiap tahun saya melihat sahabat saya berbondong-bondong mengikuti seleksi menjadi seorang polisi. Walau terus-menerus gagal, ada yang bahkan sampai 3 tahun berturut-turut mencoba.
Menjadi polisi seperti sebuah prestise bagi banyak orang.
Saya tak berpikir begitu. Saya pernah dirazia dan diperas oleh polisi lebih dari sekali.
Tapi, saya tak benci dengan polisi, mereka menangkap bandar narkoba di belakang rumah saya, mereka mengamankan teroris.
Saya cuma takut dengan polisi. Saya tak mau mati sia-sia seperti SL, saya juga tak mau dikriminalisasi seperti KPK.
Saya hanya mengingatkan pada diri saya sendiri, “jangan coba main-main dengan polisi.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H