Di sela-sela hiruk-pikuk era digital, satu fenomena yang makin mencuat adalah betapa cepatnya anak-anak belajar mengikuti tren. Scroll sebentar di TikTok dan kita akan menemukan bocah-bocah berusia 5-10 tahun yang bisa mengikuti koreografi kompleks dengan luwesnya. Sementara itu, di halaman-halaman berita, nama-nama oknum dewasa yang jauh lebih "berpengalaman" berseliweran dengan satu tuduhan seragam: korupsi.
Mengapa dua kutub moral ini begitu kontras? Mengapa si kecil begitu cepat menyerap gerakan trendi sementara si paling dewasa lihai mencuri uang rakyat? Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih mendalam tentang kondisi moral masyarakat kita?
1) Anak-Anak Digital dan Kecepatan Belajar yang Luar Biasa
Kehidupan digital menawarkan akses ke informasi dan tren global dalam hitungan detik. Anak-anak yang lahir di era ini, yang kerap disebut "Digital Natives," menyerap informasi lebih cepat dari generasi sebelumnya. Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pada tahun 2022 saja, sekitar 60% anak-anak Indonesia yang berusia 5-12 tahun sudah aktif menggunakan media sosial.
Hal ini tak mengherankan, mengingat anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Ketika tren joget TikTok muncul, dalam hitungan hari bahkan jam, anak-anak bisa mempelajari gerakan-gerakan itu dengan cepat. Kemampuan ini didukung oleh faktor psikologis dan fisiologis: otak anak-anak memiliki plastisitas tinggi, membuat mereka lebih mudah meniru dan menyimpan informasi.
Sementara itu, apa yang bisa kita harapkan dari orang dewasa yang seharusnya sudah memiliki nilai-nilai moral yang kokoh?
2) Orang Dewasa: Penguasa Korupsi atau Korban Sistem?
Berbeda dengan anak-anak yang sibuk menyerap tren positif (walau terkadang cuma untuk hiburan), segelintir oknum dewasa memilih jalur yang merugikan masyarakat luas: korupsi. Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang tahun 2023, terdapat 626 kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan pegawai negeri sipil. Bahkan, beberapa kasus melibatkan tokoh-tokoh terdidik dengan jabatan tinggi yang seharusnya menjadi contoh moral bagi masyarakat.
Namun, mengapa ini terus terjadi? Bukankah orang dewasa seharusnya sudah memiliki pemahaman yang matang tentang etika dan tanggung jawab?
Fenomena ini tak sesederhana soal "moral bejat." Ada banyak faktor yang menyumbang pada maraknya korupsi. Sebagian analis menyebutkan bahwa lemahnya pengawasan, budaya permisif, dan sistem birokrasi yang kompleks membuka peluang untuk tindakan tidak bermoral. Dengan kata lain, korupsi sering kali bukan hanya hasil dari moral individu yang rusak, tetapi juga hasil dari sistem yang memberi celah untuk perilaku itu.