Pendidikan inklusi adalah pendekatan yang bertujuan untuk memastikan semua anak, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, mendapatkan hak pendidikan yang setara. Di Indonesia, program sekolah inklusi sudah mulai diterapkan di banyak sekolah negeri. Namun, dalam pelaksanaannya, masih terdapat berbagai kekeliruan yang membuat tujuan mulia pendidikan inklusi sulit tercapai. Berikut adalah beberapa kekeliruan umum yang sering dilakukan sekolah-sekolah negeri dalam melaksanakan program ini.
1. Pemahaman yang Kurang Mendalam tentang Inklusi
Banyak sekolah yang memahami pendidikan inklusi hanya sebagai penerimaan siswa dengan kebutuhan khusus di sekolah reguler. Padahal, inklusi lebih dari sekadar menerima siswa; itu melibatkan penciptaan lingkungan yang mendukung semua siswa untuk belajar bersama.
Guru dan staf sekolah sering kali tidak diberikan pelatihan yang memadai tentang cara menangani siswa dengan kebutuhan khusus. Akibatnya, banyak guru merasa kewalahan atau bahkan tidak tahu bagaimana menyesuaikan metode pengajaran mereka. Sebuah studi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2021 menunjukkan bahwa hanya 35% guru di sekolah inklusi memiliki pemahaman dasar tentang kebutuhan khusus siswa.
2. Kurangnya Fasilitas dan Sumber Daya Pendukung
Salah satu kendala terbesar adalah kurangnya fasilitas yang ramah disabilitas di sekolah negeri. Banyak sekolah tidak menyediakan aksesibilitas fisik seperti ramp, toilet ramah disabilitas, atau alat bantu belajar seperti Braille dan audio books.
Selain itu, minimnya tenaga pendukung seperti shadow teacher atau pendamping khusus juga menjadi masalah besar. Dalam banyak kasus, siswa dengan kebutuhan khusus harus berjuang sendiri tanpa bantuan yang memadai, yang pada akhirnya menghambat proses belajar mereka.
3. Penilaian yang Tidak Adaptif
Penilaian adalah elemen penting dalam pendidikan, tetapi banyak sekolah negeri masih menggunakan metode penilaian yang seragam tanpa mempertimbangkan kebutuhan individu siswa inklusi. Sebagai contoh, siswa dengan disleksia sering diperlakukan sama dalam ujian tertulis seperti siswa lainnya, meskipun mereka kesulitan dalam membaca dan menulis.
Pendekatan ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga membuat siswa merasa gagal, yang dapat memengaruhi kepercayaan diri dan motivasi mereka untuk belajar. Padahal, sistem penilaian bisa dirancang lebih fleksibel, misalnya dengan memberikan opsi ujian lisan atau proyek kreatif.