Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Problematika Sekolah: Anak Berkebutuhan Khusus dengan "Treatment" yang tak Khusus

2 November 2024   18:34 Diperbarui: 2 November 2024   18:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://www.cikal.co.id/news?id=persiapan-sekolah-bagi-anak-berkebutuhan-khusus)

Perhatian terhadap pendidikan inklusif di sekolah telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, terutama sejak pemerintah mulai mendorong sekolah-sekolah umum untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, meskipun niatnya baik, penerapan di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu problematika besar yang sering dihadapi adalah ketidakmampuan sekolah menyediakan "treatment" atau perlakuan yang benar-benar khusus dan sesuai untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Padahal, untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung, siswa-siswa ini membutuhkan dukungan dan adaptasi yang tepat agar mampu berpartisipasi dan berkembang dengan optimal.

 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus dan Kebutuhannya di Sekolah

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak-anak yang memiliki kondisi fisik, mental, sensorik, atau emosional yang membutuhkan dukungan khusus dalam kegiatan belajar-mengajar. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, anak-anak ini termasuk mereka yang mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, motorik, perkembangan (seperti autisme atau ADHD), maupun kecerdasan (baik itu kecerdasan di atas maupun di bawah rata-rata).

Anak-anak ini memerlukan lingkungan yang aman, nyaman, dan penuh dukungan untuk memenuhi kebutuhan akademis, sosial, dan emosional mereka. Dalam teorinya, Piaget dan Vygotsky menyatakan bahwa setiap anak belajar melalui proses interaksi sosial yang mendalam dan bahwa setiap anak memiliki potensi untuk belajar dengan cara unik. Hal ini berarti, dalam kasus ABK, proses belajar-mengajar yang diterapkan harus disesuaikan, dengan pemahaman bahwa setiap anak memiliki tantangan dan kekuatan yang berbeda.

 Realitas di Lapangan: Perlakuan yang Tidak Khusus

Sayangnya, banyak sekolah di Indonesia masih belum mampu menyediakan perlakuan khusus yang dibutuhkan ABK. Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal ini terjadi, antara lain kurangnya pelatihan khusus bagi tenaga pendidik, keterbatasan fasilitas dan alat bantu belajar, serta rendahnya tingkat pemahaman terhadap kebutuhan spesifik setiap ABK. Alhasil, perlakuan yang diberikan sering kali tidak efektif dan justru membuat ABK merasa terisolasi, mengalami kesulitan belajar, dan merasa tidak dipahami.

Misalnya, anak dengan disleksia mungkin ditempatkan di kelas reguler tanpa dukungan atau metode pengajaran yang sesuai, seperti menggunakan teks berukuran besar atau teknik fonetik. Begitu pula, anak dengan gangguan sensorik yang kesulitan mengikuti pelajaran dengan visual dan suara intens sering kali mengalami gangguan konsentrasi dan tidak dapat menangkap informasi secara optimal. Hal ini sejalan dengan pandangan Maslow yang mengungkapkan bahwa kebutuhan dasar (seperti rasa aman dan penerimaan) harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum seseorang dapat mencapai potensi maksimalnya.

 Kurangnya Sumber Daya dan Pelatihan Guru

Banyak sekolah masih kekurangan guru yang memiliki kompetensi khusus untuk menangani ABK. Laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 70% guru di sekolah umum tidak memiliki pelatihan khusus untuk mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus. Hal ini membuat para guru sulit memahami kebutuhan unik masing-masing anak dan mengadaptasi metode pengajaran sesuai kebutuhan. Padahal, dalam konsep Universal Design for Learning (UDL), setiap anak idealnya mendapatkan akses yang sama ke materi pendidikan, dengan penyesuaian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Di sisi lain, anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan inklusif juga masih rendah, yang mengakibatkan keterbatasan fasilitas dan sumber daya pendukung. Tidak semua sekolah memiliki ruang khusus untuk terapi, alat bantu seperti kursi roda, atau teknologi bantu (assistive technology) seperti perangkat audio untuk siswa dengan gangguan pendengaran. Kondisi ini semakin memperburuk masalah dan menghambat perkembangan akademis serta sosial-emosional ABK.

 Dampak dari Treatment yang Tidak Khusus pada Anak Berkebutuhan Khusus

Ketidakadaan dukungan yang tepat dapat berdampak serius bagi perkembangan ABK, baik secara akademis maupun psikologis. Dari segi akademis, ABK mungkin mengalami kesulitan yang lebih besar dalam memahami materi pelajaran, kehilangan minat belajar, atau bahkan mengalami ketertinggalan dalam hal prestasi. Sementara itu, secara psikologis, mereka rentan mengalami stres, depresi, hingga gangguan kecemasan karena merasa diabaikan atau tidak mampu mengikuti ritme pembelajaran.

Ketidakmampuan sekolah memberikan perlakuan khusus juga berpotensi menimbulkan dampak sosial. ABK yang tidak mendapatkan dukungan dapat mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, merasa terasing, dan mengalami penurunan rasa percaya diri. Hal ini berlawanan dengan tujuan pendidikan inklusif yang idealnya memberikan kesempatan bagi semua anak, termasuk ABK, untuk belajar, berkembang, dan bersosialisasi dengan seimbang.

 Solusi untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Untuk memperbaiki situasi ini, diperlukan perubahan signifikan dalam sistem pendidikan. Salah satu solusinya adalah meningkatkan kompetensi tenaga pendidik melalui pelatihan yang fokus pada pendidikan inklusif. Guru perlu diberikan pengetahuan tentang berbagai kebutuhan khusus yang mungkin dimiliki oleh siswa, termasuk metode pengajaran yang efektif, teknik manajemen kelas yang adaptif, dan pemahaman mengenai teknologi bantu yang bisa digunakan. Menurut teori pendidikan Vygotsky, "scaffolding" atau dukungan dalam bentuk bimbingan spesifik dapat membantu ABK mengembangkan kemampuan belajar yang lebih mandiri.

Selain itu, pemerintah dan pihak sekolah juga harus meningkatkan alokasi anggaran untuk penyediaan fasilitas yang ramah bagi ABK, seperti ruang terapi, alat bantu, serta teknologi yang memadai. Penyediaan aksesibilitas fisik juga sangat penting, seperti jalan akses yang ramah kursi roda atau ruang kelas yang mudah diakses oleh anak-anak dengan gangguan mobilitas.

Kerja sama antara sekolah dan orang tua juga memainkan peran penting. Orang tua sebaiknya dilibatkan dalam merancang program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak. Program Individual Education Plan (IEP) misalnya, dapat menjadi cara yang baik untuk merancang pendekatan pembelajaran yang unik dan personal bagi ABK. Melalui IEP, sekolah, guru, dan orang tua bisa berdiskusi mengenai tujuan belajar, strategi khusus, serta kebutuhan adaptasi yang diperlukan oleh setiap anak.

 Penutup

Anak-anak berkebutuhan khusus seharusnya mendapatkan perhatian yang sama dalam pendidikan. Mereka tidak hanya memerlukan perlakuan khusus, tetapi juga dukungan moral, sosial, dan fisik yang sesuai untuk mencapai potensi maksimal mereka. Pendidikan inklusif bukan sekadar tentang menempatkan anak-anak ini dalam satu ruangan yang sama, tetapi tentang menciptakan lingkungan yang adaptif dan mendukung sehingga semua anak dapat berkembang dengan optimal. Dengan menyediakan "treatment" yang benar-benar khusus, sekolah dapat memfasilitasi tercapainya pendidikan yang adil dan merata bagi semua, sehingga cita-cita inklusivitas pendidikan benar-benar dapat terwujud.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun