Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa yang Sebenarnya Jahat dari Ilmu "Politik"

26 Oktober 2024   19:03 Diperbarui: 26 Oktober 2024   19:03 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu politik, pada dasarnya, mempelajari distribusi kekuasaan, pembuatan kebijakan, dan berbagai dinamika yang memengaruhi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat. Namun, konsep kekuasaan sering disalahgunakan sehingga menimbulkan kesan negatif atau "jahat." Mari kita telaah lebih lanjut aspek-aspek apa saja yang membuat ilmu politik sering dipandang demikian.

1. Manipulasi dan Propaganda

Politik seringkali dihubungkan dengan manipulasi---proses di mana individu atau kelompok menggunakan taktik tertentu untuk mempengaruhi opini publik demi kepentingan mereka. Dalam banyak kasus, hal ini melibatkan propaganda, yaitu penyebaran informasi yang sering kali menyesatkan atau sengaja dimodifikasi. Tujuannya jelas: memenangkan hati rakyat meski dengan cara yang kurang etis. Beberapa politisi bahkan sengaja menyebarkan hoaks untuk menanamkan persepsi tertentu di benak masyarakat, menciptakan iklim ketakutan atau kebencian yang menguntungkan mereka.

2. Nepotisme dan Kolusi

Salah satu aspek yang sering menimbulkan sentimen negatif adalah nepotisme atau kolusi dalam politik. Dalam banyak pemerintahan, terutama yang kurang transparan, ada kecenderungan para pemimpin memilih keluarga atau teman dekat untuk mengisi posisi penting. Praktik semacam ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga menghambat kompetensi dalam pemerintahan. Kasus nepotisme yang mencolok terjadi di berbagai negara, di mana anggota keluarga para politisi menduduki posisi strategis tanpa kualifikasi yang memadai. Ini membuat masyarakat merasa kecewa dan marah karena kebijakan yang dihasilkan lebih cenderung melindungi kepentingan keluarga atau kelompok tertentu daripada kepentingan publik.

3. Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan

Korupsi menjadi masalah besar dalam dunia politik di seluruh dunia. Fenomena ini tidak hanya memburuk di negara-negara berkembang, tetapi juga mencemari beberapa negara maju. Korupsi muncul dalam bentuk penerimaan suap, penyalahgunaan anggaran publik, hingga penghindaran pajak. Beberapa survei, seperti yang dilakukan oleh Transparency International, mengungkap bahwa korupsi politik sering kali menjadi penyebab utama ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Penyalahgunaan kekuasaan juga mencakup intimidasi terhadap pihak yang berseberangan atau persekusi terhadap kelompok minoritas. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam dunia politik, kekuasaan sering kali digunakan untuk menindas pihak yang lebih lemah.

4. Pragmatisme Berlebihan: Tujuan Menghalalkan Segala Cara

Istilah "tujuan menghalalkan cara" sangat relevan dalam politik, di mana keputusan-keputusan strategis sering kali diambil demi mencapai tujuan tertentu meski mengorbankan prinsip atau moralitas. Dalam banyak situasi, politisi memutuskan langkah yang mungkin membahayakan jangka panjang, tetapi menguntungkan mereka dalam jangka pendek, seperti mengambil kebijakan populis untuk meraih simpati masyarakat tanpa mempertimbangkan konsekuensi ke depannya. Pragmatisme yang berlebihan ini dapat merusak tatanan demokrasi dan mengancam kesejahteraan masyarakat.

5. Polarisasi Masyarakat

Dunia politik sering kali menciptakan polarisasi di masyarakat. Para politisi yang berambisi mempertahankan kekuasaan cenderung menggunakan retorika yang memecah-belah, baik berdasarkan ideologi, agama, atau suku. Hal ini terlihat dalam berbagai kampanye yang menggunakan narasi "kami melawan mereka," sehingga masyarakat terpecah menjadi kubu-kubu yang berlawanan. Polarisasi yang berlebihan ini tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga melemahkan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama dan membangun negara yang kuat.

6. Taktik Pembingkaian (Framing) yang Manipulatif

Dalam komunikasi politik, framing menjadi senjata untuk membentuk persepsi masyarakat. Politisi dan tim kampanye menggunakan framing untuk mengatur bagaimana suatu isu dipandang oleh publik. Misalnya, mereka bisa menggambarkan suatu kebijakan sebagai "pro rakyat," padahal mungkin mengandung agenda tersembunyi. Taktik pembingkaian ini bukan hanya berbahaya bagi demokrasi, tetapi juga membatasi kemampuan masyarakat untuk melihat kebenaran secara objektif.

7. Pengkhianatan Janji Politik

Janji yang diucapkan saat kampanye sering kali hanya menjadi omong kosong ketika politisi telah berada di kursi kekuasaan. Banyak politisi yang dengan mudah meninggalkan janji-janji tersebut, terutama janji-janji yang melibatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat merasa dikhianati ketika kebijakan yang diimplementasikan ternyata tidak sejalan dengan janji-janji kampanye, menciptakan frustrasi dan apatisme terhadap sistem politik.

8. Eksploitasi Keadaan Darurat

Dalam situasi darurat, pemerintah memiliki kekuasaan lebih besar untuk membuat keputusan yang biasanya memerlukan persetujuan lebih lanjut. Beberapa politisi memanfaatkan situasi darurat, seperti bencana alam atau pandemi, untuk memperluas kekuasaan mereka atau mengabaikan proses demokrasi. Contoh nyata adalah ketika sejumlah negara memberlakukan undang-undang darurat saat pandemi COVID-19, beberapa di antaranya kemudian digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat atau mengkonsolidasikan kekuasaan, alih-alih membantu masyarakat.

9. Politik Identitas yang Memecah-belah

Politik identitas, di mana politisi mengandalkan perbedaan identitas (ras, agama, atau etnis) untuk meraih dukungan, telah menjadi taktik yang sangat umum. Meski strategi ini sering efektif, dampak negatifnya sangat besar karena dapat menimbulkan ketegangan sosial, konflik, dan diskriminasi. Di banyak negara, politik identitas justru memicu kekerasan dan perpecahan yang semakin melemahkan solidaritas sosial.

Dampak Buruk dan Pentingnya Reformasi

Semua praktik negatif ini memperkuat persepsi bahwa politik itu "jahat." Namun, mengingat betapa pentingnya peran politik dalam menjaga stabilitas dan kemakmuran sebuah negara, langkah-langkah reformasi perlu dilakukan. Memperkuat aturan anti-korupsi, meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan, dan mendorong pendidikan politik yang sehat adalah beberapa langkah yang dapat mengurangi dampak negatif dari politik. Peran masyarakat juga sangat penting dalam menuntut para politisi bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Pada akhirnya, meskipun banyak aspek "jahat" dalam ilmu politik, terdapat pula potensi besar untuk menjadikannya kekuatan positif yang membangun. Mengubah sistem politik menuju pemerintahan yang lebih etis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat adalah tugas bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun