Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ragam Kebijakan Kurikulum Merdeka yang Perlu Dihapuskan?

7 November 2024   11:00 Diperbarui: 7 November 2024   11:02 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurikulum Merdeka, yang mulai diperkenalkan pada tahun 2020, bertujuan untuk menciptakan pendidikan yang lebih fleksibel, mandiri, dan relevan dengan kebutuhan peserta didik. Dalam sistem ini, kebijakan-kebijakan baru diterapkan untuk mendorong inovasi pengajaran, pembelajaran yang berpusat pada siswa, serta pembinaan karakter yang komprehensif. 

Meski demikian, ada beberapa kebijakan dalam Kurikulum Merdeka yang telah menuai kritik dari berbagai pihak. Beberapa kebijakan ini dianggap kurang efektif atau bahkan kontra-produktif, sehingga perlu dipertimbangkan untuk dihapus atau direvisi.

Artikel ini akan mengulas beberapa kebijakan Kurikulum Merdeka yang sebaiknya dihapuskan berdasarkan tinjauan teori pendidikan dan data empiris yang tersedia.

1. Kebijakan Pembelajaran Berbasis Proyek Secara Massal

Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) sebagai salah satu pendekatan utama. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memberikan pengalaman nyata kepada siswa, meningkatkan kreativitas, dan memupuk keterampilan abad ke-21 seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan komunikasi.

Meskipun niatnya baik, pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek secara massal di setiap kelas dan jenjang sering kali menemui hambatan serius. Berdasarkan laporan dari Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pembelajaran Indonesia (2022), banyak guru di daerah kurang siap dengan pendekatan ini. 

Mereka mengeluhkan kurangnya waktu, sumber daya, dan pelatihan yang memadai untuk mengimplementasikan proyek yang bermakna dan relevan bagi siswa.

Dari perspektif teori pendidikan, pendekatan ini sebenarnya efektif jika dilaksanakan dengan benar. Menurut Teori Pembelajaran Konstruktivis oleh Jean Piaget, siswa memang sebaiknya belajar melalui pengalaman langsung dan eksplorasi aktif. 

Namun, implementasi yang tergesa-gesa tanpa dukungan infrastruktur yang baik akan berujung pada beban tambahan bagi guru dan hasil pembelajaran yang tidak maksimal. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu ditinjau kembali agar tidak diterapkan secara massal di semua kondisi, terutama di wilayah yang belum memiliki fasilitas dan kesiapan guru yang memadai.

2. Asesmen Berdasarkan Profil Pelajar Pancasila yang Terlalu Rigid

Salah satu ciri utama Kurikulum Merdeka adalah pengembangan Profil Pelajar Pancasila yang mencakup enam dimensi: beriman dan bertakwa, berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, serta kreatif. Siswa diharapkan mengembangkan setiap dimensi tersebut secara berimbang melalui kegiatan belajar sehari-hari.

Namun, kebijakan terkait asesmen berdasarkan Profil Pelajar Pancasila dinilai terlalu kaku dan menyulitkan, terutama untuk pengukuran dimensi-dimensi non-kognitif seperti gotong royong dan beriman. Sebuah studi oleh Pusat Asesmen dan Pembelajaran (2023) menunjukkan bahwa guru merasa kesulitan untuk menilai dimensi-dimensi tersebut secara objektif. 

Karena indikator yang disediakan cenderung bersifat normatif dan sulit diterjemahkan dalam praktik, penilaian menjadi tidak konsisten antara satu guru dengan guru lain, atau antara satu sekolah dengan sekolah lain.

Teori Multiple Intelligences oleh Howard Gardner menyatakan bahwa setiap siswa memiliki beragam potensi kecerdasan yang tidak dapat diukur secara seragam. Kebijakan asesmen yang terlalu rigid justru menghambat potensi siswa yang mungkin memiliki kecerdasan di luar parameter yang diukur. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu diperlonggar dengan memberikan fleksibilitas kepada guru dalam melakukan asesmen dan menyesuaikan dengan kondisi siswa serta konteks lokal.

3. Kebijakan Pemilihan Mata Pelajaran yang Terlalu Fleksibel di Jenjang SMP dan SMA

Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan kepada siswa di jenjang SMP dan SMA untuk memilih mata pelajaran yang mereka sukai atau sesuai dengan minat karier masa depan. Meskipun hal ini bertujuan untuk memberi ruang kepada siswa dalam mengeksplorasi minat dan bakat mereka, kebijakan ini menimbulkan beberapa masalah serius.

Menurut data dari Kemendikbud (2022), banyak siswa memilih mata pelajaran berdasarkan tren atau tekanan sosial daripada minat sejati mereka. Selain itu, pemilihan mata pelajaran yang terlalu fleksibel berpotensi memperlebar kesenjangan antara siswa yang berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dan yang tidak. Di sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas, siswa tidak bisa memilih semua mata pelajaran yang diinginkan karena kekurangan guru spesialis di bidang tertentu.

Teori Pendidikan Inklusif oleh Lev Vygotsky mengajarkan bahwa pendidikan sebaiknya memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan individu dengan kebutuhan sosial. Ketika siswa diberikan kebebasan penuh tanpa panduan yang jelas, risiko ketimpangan dalam pendidikan meningkat. Oleh karena itu, kebijakan pemilihan mata pelajaran yang terlalu fleksibel perlu dibatasi dengan panduan yang lebih terarah agar tetap sejalan dengan kebutuhan pendidikan umum dan perkembangan akademik siswa secara holistik.

4. Kebijakan Pembelajaran Berdiferensiasi Tanpa Pendampingan yang Memadai

Kebijakan pembelajaran berdiferensiasi adalah salah satu inti dari Kurikulum Merdeka. Kebijakan ini bertujuan agar pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan masing-masing siswa. Namun, penerapan pembelajaran berdiferensiasi di lapangan sering kali tidak disertai dengan pendampingan dan pelatihan yang memadai bagi para guru.

Menurut survei dari Asosiasi Guru Indonesia (2023), 70% guru mengaku kebingungan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Mereka merasa kurang mendapatkan pelatihan intensif dan pendampingan yang diperlukan untuk memahami konsep ini secara mendalam. Akibatnya, penerapan pembelajaran berdiferensiasi menjadi tidak konsisten dan justru menambah beban kerja guru.

Teori Pembelajaran Berdiferensiasi oleh Carol Ann Tomlinson menyebutkan bahwa implementasi diferensiasi yang baik memerlukan guru yang terampil dalam menganalisis kebutuhan siswa dan merancang strategi pengajaran yang beragam. 

Tanpa pelatihan dan dukungan yang cukup, guru akan kesulitan mengelola kelas dengan beragam kebutuhan siswa. Oleh karena itu, kebijakan ini sebaiknya ditinjau kembali dengan menambah pendampingan dan pelatihan intensif bagi guru sebelum diimplementasikan.

Kurikulum Merdeka adalah sebuah inovasi penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, beberapa kebijakannya seperti pembelajaran berbasis proyek secara massal, asesmen berdasarkan Profil Pelajar Pancasila yang rigid, kebijakan pemilihan mata pelajaran yang terlalu fleksibel, dan pembelajaran berdiferensiasi tanpa pendampingan yang memadai, perlu ditinjau ulang. 

Dengan menyesuaikan kebijakan ini berdasarkan data dan teori pendidikan yang ada, implementasi Kurikulum Merdeka dapat berjalan lebih optimal dan benar-benar mencerminkan kebutuhan pendidikan yang relevan dan adaptif bagi siswa di Indonesia.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun