Pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, baik dalam hal kebijakan, kurikulum, maupun metode penilaian. Salah satu perubahan besar yang sempat dilakukan adalah penghapusan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021, yang digantikan oleh Asesmen Nasional (AN). Namun, wacana untuk memberlakukan kembali Ujian Nasional mulai muncul, menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya dalam sistem pendidikan yang sekarang menganut konsep Kurikulum Merdeka. Dalam artikel ini, kita akan membahas apakah Ujian Nasional masih relevan dengan konsep Kurikulum Merdeka, dengan melihat data dan teori pendidikan yang mendukung perdebatan ini.
1. Sejarah Singkat Ujian Nasional di Indonesia
Ujian Nasional pertama kali diberlakukan pada tahun 2003 sebagai pengganti dari EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sudah lebih dulu diterapkan. Ujian ini bertujuan untuk mengukur capaian belajar siswa secara nasional dan dianggap sebagai alat ukur standar kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, Ujian Nasional banyak menuai kritik, terutama karena dianggap hanya berfokus pada hasil, bukan pada proses pembelajaran siswa.
Banyak pihak menilai bahwa sistem ini menekan siswa untuk "menghafal" materi tanpa memahami konsep secara mendalam. Selain itu, karena hasil Ujian Nasional digunakan sebagai tolok ukur kelulusan, tekanan psikologis terhadap siswa semakin besar. Hal ini mendorong lahirnya berbagai kritik dari kalangan pendidik dan orang tua, yang berpuncak pada penghapusan Ujian Nasional pada tahun 2021. Ujian Nasional kemudian digantikan oleh Asesmen Nasional, yang lebih berfokus pada kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi.
2. Kurikulum Merdeka: Pendekatan Berbeda dalam Pendidikan
Sejak diperkenalkan pada tahun 2021, Kurikulum Merdeka menandai perubahan besar dalam pendekatan pendidikan di Indonesia. Konsep Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran yang fleksibel, di mana siswa diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi diri sesuai minat dan bakat masing-masing. Dalam kurikulum ini, proses pembelajaran lebih ditekankan dibandingkan hasil akhir. Tujuannya adalah untuk menciptakan individu yang mandiri, kreatif, dan mampu berpikir kritis.
Dalam Kurikulum Merdeka, penilaian tidak hanya berdasarkan ujian tertulis, tetapi juga melibatkan berbagai bentuk asesmen formatif dan sumatif, seperti proyek, portofolio, dan presentasi. Sistem ini diharapkan bisa menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih holistik, di mana siswa terlibat aktif dalam proses belajar dan guru berperan sebagai fasilitator, bukan sekadar pengajar.
3. Pertentangan dengan Wacana Pengembalian Ujian Nasional
Munculnya wacana untuk memberlakukan kembali Ujian Nasional menimbulkan berbagai pertanyaan tentang relevansinya dengan konsep Kurikulum Merdeka. Salah satu prinsip dasar Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan penilaian yang bersifat formatif. Hal ini bertentangan dengan sifat Ujian Nasional yang lebih berfokus pada pengujian secara seragam di seluruh Indonesia.
Teori pendidikan konstruktivisme, yang mendasari Kurikulum Merdeka, menekankan bahwa siswa harus belajar melalui pengalaman nyata dan aktif membangun pemahaman mereka sendiri. Teori ini menolak pendekatan tradisional yang pasif di mana siswa hanya menerima informasi. Dalam konteks ini, Ujian Nasional yang mengutamakan hasil akhir justru bertentangan dengan esensi Kurikulum Merdeka yang mengutamakan proses pembelajaran yang dinamis dan aktif.