Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena Eksploitasi Kinerja di Lingkungan Kerja, Bentuk Pengembangan Diri atau Penggerusan Mental Diri?

29 Oktober 2024   19:27 Diperbarui: 29 Oktober 2024   19:35 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://www.dw.com/id/hukum-ketenagakerjaan-india-picu-eksploitasi-tenaga-kerja/a-70167775)

Dalam dunia kerja modern, tantangan dan tuntutan yang dihadapi oleh pekerja semakin beragam dan kompleks. Salah satu fenomena yang kerap menjadi perhatian adalah eksploitasi kinerja, di mana karyawan didorong untuk bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih produktif dari kemampuan wajar mereka. Pertanyaannya kemudian, apakah fenomena ini dapat dilihat sebagai bentuk pengembangan diri, atau justru sebagai penggerusan mental yang mengancam kesejahteraan psikologis individu?

Eksploitasi Kinerja: Apa dan Mengapa Terjadi?

Eksploitasi kinerja sering kali terjadi dalam bentuk jam kerja yang panjang, beban kerja berlebih, dan tuntutan untuk selalu produktif tanpa mempertimbangkan keseimbangan hidup. Di lingkungan kerja yang sangat kompetitif, sering kali karyawan dipaksa atau merasa terdorong untuk memenuhi ekspektasi yang sangat tinggi demi mempertahankan posisinya atau mendapatkan promosi.

Menurut teori ekonomi klasik, salah satunya yang dikemukakan oleh Karl Marx, eksploitasi kerja terjadi ketika tenaga kerja dipaksa untuk memberikan nilai lebih kepada pemilik modal tanpa mendapatkan imbalan yang setara. Meskipun teori Marx berfokus pada konteks kapitalisme industrial, prinsip dasarnya masih relevan dalam dunia kerja modern. Karyawan sering kali merasa terjebak dalam kondisi ini karena ketakutan akan kehilangan pekerjaan, kesulitan finansial, atau tekanan dari lingkungan yang sangat kompetitif.

Survei yang dilakukan oleh Gallup pada tahun 2020 menyebutkan bahwa 44% karyawan global mengalami gejala kelelahan kerja (burnout) secara rutin. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekspektasi yang tidak realistis terhadap kinerja karyawan bisa berakibat negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.

Pengembangan Diri: Perspektif Positif dari Eksploitasi Kinerja

Meskipun eksploitasi kinerja sering kali dilihat sebagai hal negatif, ada sudut pandang yang menganggap bahwa dorongan untuk bekerja lebih keras dapat memfasilitasi pengembangan diri. Beberapa karyawan mungkin merasa bahwa tuntutan tinggi memaksa mereka keluar dari zona nyaman dan mendorong mereka untuk mengembangkan keterampilan baru atau meningkatkan efisiensi kerja.

Menurut teori motivasi diri (self-determination theory) yang dikemukakan oleh Deci dan Ryan (1985), manusia memiliki kebutuhan dasar akan kompetensi, otonomi, dan keterkaitan. Jika eksploitasi kinerja masih memberikan rasa pencapaian dan kendali atas pekerjaan, serta didukung oleh hubungan sosial yang baik di tempat kerja, maka tuntutan kinerja tinggi tersebut bisa diterjemahkan sebagai peluang untuk berkembang.

Namun, penting untuk diperhatikan bahwa dorongan untuk meningkatkan kinerja ini harus tetap dalam batas yang sehat. Ketika karyawan dipaksa bekerja lebih dari yang mampu mereka tangani, keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional dapat terganggu, dan alih-alih mendapatkan manfaat dari peningkatan kinerja, mereka justru berisiko mengalami kelelahan kronis.

Penggerusan Mental: Dampak Buruk dari Eksploitasi Kinerja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun