Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perlukah Kurikulum Merdeka Diganti Lagi?

2 November 2024   08:00 Diperbarui: 2 November 2024   09:34 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan adalah salah satu pilar penting dalam pembangunan suatu negara. Oleh karena itu, perdebatan tentang kurikulum pendidikan sering kali menjadi topik yang hangat dibahas. Salah satu isu yang sedang ramai dibicarakan adalah perlukah Kurikulum Merdeka—yang belum lama diterapkan di Indonesia—diganti lagi dengan kurikulum baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelaah lebih dalam tentang konsep Kurikulum Merdeka, dampaknya terhadap dunia pendidikan, serta pandangan dari para ahli.

Apa Itu Kurikulum Merdeka?

Kurikulum Merdeka mulai diterapkan pada tahun 2021 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan tujuan utama memberikan kebebasan lebih kepada guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Berbeda dari kurikulum sebelumnya yang cenderung kaku dan berbasis pada target pencapaian akademik tertentu, Kurikulum Merdeka menekankan pada pengembangan potensi individu siswa, serta memberikan fleksibilitas dalam metode pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di setiap sekolah.

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka merupakan respons terhadap tantangan pendidikan di masa pandemi yang memperlihatkan kesenjangan antara sekolah-sekolah yang memiliki akses teknologi dan yang tidak. Kurikulum ini juga mendorong keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran, memfasilitasi guru untuk lebih kreatif, serta memberikan kesempatan lebih luas kepada siswa untuk mengembangkan soft skills seperti pemikiran kritis dan kemampuan beradaptasi.

Dampak Kurikulum Merdeka

Beberapa studi awal tentang penerapan Kurikulum Merdeka menunjukkan hasil yang beragam. Di satu sisi, banyak sekolah yang merasa terbantu dengan fleksibilitas yang diberikan. Guru dapat menyesuaikan bahan ajar dengan kondisi lokal dan kebutuhan siswa, sementara siswa diberikan kesempatan untuk belajar secara lebih mendalam dalam bidang yang mereka minati. Kurikulum ini juga membuka jalan untuk pembelajaran berbasis proyek yang memungkinkan siswa mengasah keterampilan praktis.

Namun, ada juga sejumlah tantangan yang dihadapi dalam penerapannya. Di banyak daerah, terutama di wilayah pedesaan yang infrastrukturnya terbatas, guru sering kali tidak memiliki sumber daya atau pelatihan yang memadai untuk melaksanakan metode yang lebih fleksibel dan interaktif seperti yang diamanatkan Kurikulum Merdeka. Selain itu, beberapa orang tua dan tenaga pendidik masih terbiasa dengan pendekatan lama yang berorientasi pada ujian dan target pencapaian akademik. Ini menyebabkan adanya resistensi terhadap perubahan metode pembelajaran yang lebih inovatif.

Argumen untuk Mengganti Kurikulum Merdeka

Banyak pihak yang merasa bahwa meskipun Kurikulum Merdeka memiliki konsep yang menarik, implementasinya masih jauh dari kata sempurna. Beberapa ahli pendidikan mengkhawatirkan bahwa kurikulum ini mungkin terlalu idealis untuk diterapkan di semua sekolah di Indonesia, mengingat perbedaan signifikan dalam kualitas infrastruktur dan kesiapan tenaga pengajar.

Dr. Agus Mulyono, seorang ahli pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, berpendapat bahwa Indonesia memerlukan kurikulum yang lebih konsisten dan terukur. “Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan yang terlalu luas tanpa standar yang jelas. Hal ini bisa menyebabkan disparitas pendidikan antara sekolah-sekolah yang maju dan yang tertinggal menjadi semakin besar,” ujarnya. Dr. Agus juga menyoroti bahwa dalam jangka panjang, jika perubahan kurikulum dilakukan terus-menerus, hal ini bisa menimbulkan kebingungan di kalangan siswa, guru, dan orang tua.

Senada dengan itu, Prof. Sri Gunawan, seorang pengamat pendidikan, menambahkan bahwa salah satu kelemahan Kurikulum Merdeka adalah kurangnya kesiapan guru. "Banyak guru di daerah-daerah terpencil belum siap dengan pembelajaran yang terlalu mandiri dan fleksibel. Mereka masih membutuhkan panduan yang lebih struktural dan terstandar,” katanya.

Argumen untuk Mempertahankan Kurikulum Merdeka

Namun, tidak sedikit juga yang mendukung Kurikulum Merdeka dan menilai bahwa kurikulum ini justru merupakan jawaban atas tantangan pendidikan masa kini yang semakin dinamis. Prof. Ratna Sari Dewi, seorang pakar pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa Kurikulum Merdeka adalah upaya yang tepat untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan global. “Kurikulum ini memungkinkan siswa untuk lebih mandiri, kreatif, dan berpikir kritis, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 dan tantangan pekerjaan masa depan,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa kekurangan dalam penerapan Kurikulum Merdeka tidak harus diatasi dengan mengganti kurikulum secara keseluruhan, melainkan dengan memperbaiki sistem dukungan, pelatihan guru, dan pengadaan infrastruktur pendidikan. “Mengganti kurikulum bukanlah solusi. Yang harus dilakukan adalah memperbaiki implementasinya, memberikan dukungan lebih kepada guru, dan memastikan setiap sekolah memiliki akses yang setara,” tambahnya.

Pandangan serupa diungkapkan oleh Nadiem Makarim, yang terus menegaskan bahwa Kurikulum Merdeka bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak bisa disesuaikan. "Fleksibilitas adalah inti dari kurikulum ini. Kami tidak memaksakan satu model pembelajaran, tapi memberikan ruang bagi setiap sekolah untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal mereka," kata Nadiem dalam salah satu wawancara.

Apakah Perlu Diganti Lagi?

Perdebatan ini menyisakan pertanyaan: apakah Kurikulum Merdeka perlu diganti lagi? Jawabannya mungkin tidak sederhana. Di satu sisi, memang ada tantangan dalam implementasinya, terutama di sekolah-sekolah yang kurang memiliki akses atau sumber daya. Di sisi lain, mengganti kurikulum setiap beberapa tahun sekali juga bukan solusi yang bijak karena akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.

Menurut para ahli, alih-alih mengganti kurikulum secara total, langkah yang lebih tepat adalah memperbaiki dan menyempurnakan sistem yang sudah ada. Dengan memberikan pelatihan yang lebih intensif kepada guru, meningkatkan fasilitas sekolah di daerah terpencil, dan melakukan evaluasi berkala, Kurikulum Merdeka dapat menjadi alat yang efektif dalam menciptakan generasi muda yang lebih siap menghadapi tantangan global.

Sebagai kesimpulan, mengganti Kurikulum Merdeka mungkin bukan solusi yang ideal. Yang diperlukan saat ini adalah konsistensi dalam pelaksanaan, dukungan infrastruktur, dan penguatan kapasitas para pendidik agar mereka bisa mengoptimalkan kebebasan dan fleksibilitas yang diberikan oleh kurikulum ini.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun