Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ragam Miskonsepsi Tentang Implementasi Kurikulum Merdeka dan Tantangan Membentuk Kualitas Pemikiran Peserta Didik

1 Oktober 2024   19:00 Diperbarui: 1 Oktober 2024   19:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurikulum Merdeka merupakan kebijakan pendidikan di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada satuan pendidikan dan guru dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik. 

Namun, sejak diterapkan, banyak miskonsepsi yang muncul di kalangan masyarakat, guru, dan pihak sekolah mengenai bagaimana kurikulum ini seharusnya diimplementasikan. 

Miskonsepsi tersebut seringkali mempengaruhi kualitas pendidikan dan pemikiran kritis peserta didik, serta menghadirkan tantangan bagi guru dan sekolah.

 1. Miskonsepsi Tentang Kebebasan Mutlak

Salah satu miskonsepsi yang paling umum adalah pemahaman bahwa Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan mutlak kepada guru dan peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa kebebasan ini berarti guru tidak perlu mengikuti aturan tertentu dan dapat mengajar apa saja tanpa batasan. Akibatnya, beberapa sekolah dan guru menginterpretasikan kebebasan ini sebagai peluang untuk melepas kendali penuh dalam proses belajar-mengajar, sehingga menghasilkan ketidakpastian dan kurangnya struktur dalam kegiatan pembelajaran.

Padahal, esensi dari Kurikulum Merdeka bukanlah kebebasan tanpa arah, melainkan fleksibilitas yang berpedoman pada tujuan-tujuan pendidikan yang jelas. Kebebasan yang diberikan bertujuan untuk memungkinkan guru merancang pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta didik dan konteks lokal, tanpa harus terikat dengan pendekatan pembelajaran yang seragam. Namun, kerangka besar kurikulum dan capaian pembelajaran tetap ada dan harus diikuti untuk memastikan bahwa peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

 2. Miskonsepsi Tentang Pengurangan Beban Belajar

Banyak guru dan orang tua menganggap bahwa Kurikulum Merdeka berfokus pada pengurangan beban belajar peserta didik, baik dalam hal jumlah materi yang harus dipelajari maupun tuntutan akademik lainnya. Mereka seringkali berpikir bahwa kurikulum ini lebih "ringan" dan tidak menuntut siswa untuk belajar secara intensif. Hal ini menyebabkan beberapa sekolah mengurangi jumlah materi yang disampaikan dan menurunkan standar akademik.

Pada kenyataannya, Kurikulum Merdeka bukanlah pengurangan materi, tetapi penataan ulang materi agar lebih relevan dan kontekstual. Kurikulum ini dirancang agar peserta didik tidak hanya menghafal konsep-konsep, tetapi juga memahami, menganalisis, dan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Fokusnya bukan pada kuantitas, melainkan pada kualitas pembelajaran yang lebih mendalam. Jika miskonsepsi ini terus dibiarkan, peserta didik tidak akan mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis yang dibutuhkan di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari.

 3. Miskonsepsi Tentang Peran Guru

Kurikulum Merdeka juga sering disalahartikan sebagai upaya untuk mengurangi peran guru dalam proses pembelajaran. Beberapa pihak percaya bahwa dengan semakin banyaknya sumber daya pembelajaran yang dapat diakses secara online, guru hanya berperan sebagai fasilitator atau pengawas dalam kelas. Hal ini berisiko menurunkan kualitas pengajaran karena guru mungkin merasa perannya tidak lagi esensial dalam membimbing dan mendidik peserta didik.

Sebenarnya, peran guru dalam Kurikulum Merdeka justru lebih penting dan sentral. Guru dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, dan terampil dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Mereka harus mampu memfasilitasi pembelajaran yang menumbuhkan kemandirian belajar, pemikiran kritis, dan kemampuan kolaboratif. Selain itu, guru juga berperan sebagai pembimbing yang mendukung pengembangan potensi peserta didik secara holistik, mencakup aspek akademik dan sosial-emosional.

 4. Miskonsepsi Tentang Pembelajaran Berbasis Proyek (PBL)

Pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning atau PBL) merupakan salah satu pendekatan utama dalam Kurikulum Merdeka. Namun, banyak yang salah mengartikan PBL sebagai sekadar membuat proyek tanpa arah yang jelas. Beberapa guru mungkin hanya memberi tugas proyek yang tidak berkaitan dengan kompetensi inti atau tujuan pembelajaran, sehingga proyek tersebut tidak memberikan dampak signifikan pada peningkatan pemahaman peserta didik.

PBL dalam Kurikulum Merdeka seharusnya terintegrasi dengan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran. Proyek yang dilakukan haruslah dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik terlibat dalam proses penelitian, analisis, dan refleksi yang mendalam terhadap topik yang sedang dipelajari. Proyek tersebut juga harus mendorong peserta didik untuk bekerja sama, berpikir kritis, dan memecahkan masalah. Ketika PBL diimplementasikan dengan benar, ini dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam meningkatkan kualitas pemikiran peserta didik.

 5. Tantangan Membentuk Kualitas Pemikiran Peserta Didik

Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah membentuk kualitas pemikiran kritis dan kreatif peserta didik. Kurikulum ini bertujuan agar peserta didik tidak hanya memahami materi secara dangkal, tetapi mampu berpikir secara mendalam, menghubungkan konsep, dan menerapkan pengetahuan mereka dalam situasi yang kompleks. Namun, tantangan ini tidak mudah diatasi, terutama dalam sistem pendidikan yang selama ini cenderung berfokus pada hafalan dan pencapaian nilai akademik.

Beberapa faktor yang menjadi penghambat utama adalah kurangnya pelatihan guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, serta kurangnya dukungan sumber daya yang memungkinkan peserta didik belajar secara aktif dan mandiri. Selain itu, tekanan dari orang tua dan masyarakat yang masih menilai keberhasilan pendidikan dari nilai ujian membuat guru sering terjebak dalam pola pengajaran tradisional yang menekankan hafalan.

Agar Kurikulum Merdeka dapat sukses dalam meningkatkan kualitas pemikiran peserta didik, perubahan paradigma dalam proses belajar-mengajar perlu dilakukan. Guru harus lebih fokus pada pengembangan keterampilan abad ke-21 seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Selain itu, kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat juga sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan potensi peserta didik secara optimal.

Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas dan kebebasan dalam pembelajaran, tetapi juga membawa tantangan tersendiri dalam implementasinya. Miskonsepsi yang muncul di kalangan guru dan masyarakat harus segera diluruskan agar kurikulum ini bisa mencapai tujuan utamanya, yaitu membentuk generasi yang memiliki pemikiran kritis, kreatif, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Di sisi lain, guru dan sekolah perlu didukung dengan pelatihan yang memadai dan sumber daya yang cukup agar dapat mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dengan efektif. Melalui pemahaman yang tepat dan kolaborasi yang kuat, Kurikulum Merdeka dapat menjadi tonggak penting dalam transformasi pendidikan Indonesia.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun