Kurikulum Merdeka merupakan kebijakan pendidikan di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada satuan pendidikan dan guru dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik.Â
Namun, sejak diterapkan, banyak miskonsepsi yang muncul di kalangan masyarakat, guru, dan pihak sekolah mengenai bagaimana kurikulum ini seharusnya diimplementasikan.Â
Miskonsepsi tersebut seringkali mempengaruhi kualitas pendidikan dan pemikiran kritis peserta didik, serta menghadirkan tantangan bagi guru dan sekolah.
 1. Miskonsepsi Tentang Kebebasan Mutlak
Salah satu miskonsepsi yang paling umum adalah pemahaman bahwa Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan mutlak kepada guru dan peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa kebebasan ini berarti guru tidak perlu mengikuti aturan tertentu dan dapat mengajar apa saja tanpa batasan. Akibatnya, beberapa sekolah dan guru menginterpretasikan kebebasan ini sebagai peluang untuk melepas kendali penuh dalam proses belajar-mengajar, sehingga menghasilkan ketidakpastian dan kurangnya struktur dalam kegiatan pembelajaran.
Padahal, esensi dari Kurikulum Merdeka bukanlah kebebasan tanpa arah, melainkan fleksibilitas yang berpedoman pada tujuan-tujuan pendidikan yang jelas. Kebebasan yang diberikan bertujuan untuk memungkinkan guru merancang pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan peserta didik dan konteks lokal, tanpa harus terikat dengan pendekatan pembelajaran yang seragam. Namun, kerangka besar kurikulum dan capaian pembelajaran tetap ada dan harus diikuti untuk memastikan bahwa peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
 2. Miskonsepsi Tentang Pengurangan Beban Belajar
Banyak guru dan orang tua menganggap bahwa Kurikulum Merdeka berfokus pada pengurangan beban belajar peserta didik, baik dalam hal jumlah materi yang harus dipelajari maupun tuntutan akademik lainnya. Mereka seringkali berpikir bahwa kurikulum ini lebih "ringan" dan tidak menuntut siswa untuk belajar secara intensif. Hal ini menyebabkan beberapa sekolah mengurangi jumlah materi yang disampaikan dan menurunkan standar akademik.
Pada kenyataannya, Kurikulum Merdeka bukanlah pengurangan materi, tetapi penataan ulang materi agar lebih relevan dan kontekstual. Kurikulum ini dirancang agar peserta didik tidak hanya menghafal konsep-konsep, tetapi juga memahami, menganalisis, dan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Fokusnya bukan pada kuantitas, melainkan pada kualitas pembelajaran yang lebih mendalam. Jika miskonsepsi ini terus dibiarkan, peserta didik tidak akan mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis yang dibutuhkan di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari.
 3. Miskonsepsi Tentang Peran Guru