Pendidikan di wilayah perkotaan sering kali diasosiasikan dengan kualitas yang lebih baik, akses yang lebih mudah, dan fasilitas yang lebih memadai dibandingkan dengan daerah pedesaan. Sekolah-sekolah di kota besar biasanya memiliki gedung yang modern, akses ke teknologi, dan guru-guru yang berkualifikasi tinggi. Namun, pendidikan di perkotaan juga menghadapi berbagai persoalan unik yang tidak kalah kompleksnya. Tekanan akademik yang tinggi, ketimpangan sosial, serta tantangan dalam mengintegrasikan teknologi dan kurikulum menjadi beberapa isu utama yang dihadapi sekolah-sekolah perkotaan saat ini. Artikel ini akan membahas lebih dalam persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan di kota besar dan bagaimana cara mengatasinya.
1. Tekanan Akademik yang Tinggi
Salah satu masalah yang sangat dirasakan di sekolah-sekolah perkotaan adalah tekanan akademik yang tinggi. Persaingan untuk mendapatkan nilai yang baik, masuk ke universitas ternama, serta tekanan dari orang tua dan lingkungan sosial menciptakan suasana kompetisi yang ketat di antara siswa. Kondisi ini sering kali menyebabkan stres, kecemasan, dan masalah kesehatan mental di kalangan siswa.
Tekanan ini muncul karena banyak orang tua di perkotaan menganggap bahwa pendidikan adalah jalan utama untuk mencapai keberhasilan di masa depan. Akibatnya, siswa sering kali dipaksa untuk mengikuti berbagai les tambahan atau bimbingan belajar di luar sekolah, meskipun mereka sudah menghadapi beban belajar yang berat di sekolah formal. Dalam banyak kasus, siswa lebih difokuskan pada pencapaian nilai ujian yang tinggi ketimbang pengembangan keterampilan kritis dan karakter yang holistik.
Persoalan ini semakin parah dengan adanya kurikulum yang sering kali berfokus pada aspek kognitif dan akademik. Sistem pendidikan yang masih sangat bergantung pada hasil ujian nasional atau penilaian kognitif mendorong siswa dan guru untuk lebih berfokus pada hafalan dan pemahaman jangka pendek, tanpa memberikan ruang yang cukup untuk kreativitas, inovasi, dan pengembangan keterampilan non-akademik.
2. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi di Dalam Sekolah
Sekolah-sekolah di perkotaan juga menghadapi persoalan ketimpangan sosial dan ekonomi yang nyata. Meskipun secara umum fasilitas pendidikan di perkotaan lebih baik, namun ada kesenjangan yang mencolok antara sekolah-sekolah elite dengan sekolah-sekolah yang berada di wilayah dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah. Sekolah-sekolah swasta elite biasanya memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya pendidikan, fasilitas teknologi yang canggih, serta tenaga pendidik yang berkualitas tinggi. Sementara itu, sekolah-sekolah negeri atau sekolah yang berada di daerah dengan populasi berpenghasilan rendah sering kali kekurangan fasilitas dan dukungan finansial.
Kesenjangan ini menciptakan disparitas dalam kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa, yang kemudian memperbesar ketidaksetaraan dalam peluang di masa depan. Siswa dari keluarga kurang mampu sering kali tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan tambahan, bimbingan belajar, atau fasilitas seperti perpustakaan yang memadai. Kondisi ini membuat mereka sulit bersaing dengan siswa dari keluarga yang lebih kaya.
Upaya pemerintah untuk menerapkan kebijakan zonasi dalam penerimaan siswa baru adalah salah satu cara untuk mengatasi kesenjangan ini. Kebijakan ini bertujuan agar siswa dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi dapat belajar di sekolah yang sama. Namun, kebijakan ini masih menemui banyak tantangan di lapangan, seperti kurangnya pemerataan kualitas sekolah di berbagai wilayah kota.
3. Tantangan dalam Mengintegrasikan Teknologi
Teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama di kota-kota besar. Sekolah-sekolah perkotaan memiliki akses yang lebih baik terhadap teknologi digital seperti komputer, tablet, dan internet, yang dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran. Namun, penggunaan teknologi dalam pendidikan juga menghadirkan tantangan tersendiri.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa teknologi tidak hanya menjadi alat tambahan, tetapi benar-benar dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Banyak sekolah yang memiliki fasilitas teknologi yang canggih, namun para guru belum siap atau tidak terlatih dengan baik untuk mengintegrasikan teknologi tersebut ke dalam proses belajar mengajar. Akibatnya, teknologi hanya digunakan secara terbatas, misalnya hanya sebagai alat presentasi, tanpa melibatkan interaksi yang mendalam antara siswa dan materi pembelajaran.
Selain itu, ketergantungan pada teknologi juga membawa tantangan baru, seperti masalah keamanan digital dan potensi gangguan dalam proses pembelajaran. Penggunaan internet di kelas dapat membuka peluang bagi siswa untuk mengakses informasi yang tidak relevan atau bahkan tidak pantas, sehingga memerlukan pengawasan yang lebih ketat dari guru dan sekolah.
4. Masalah Kepadatan Kelas dan Kurangnya Interaksi Personal
Di kota-kota besar, jumlah populasi yang tinggi sering kali menyebabkan kepadatan siswa di kelas. Hal ini menjadi masalah terutama di sekolah-sekolah negeri yang tidak memiliki cukup ruang kelas atau guru untuk mengakomodasi jumlah siswa yang terus meningkat. Kelas yang terlalu padat dapat mengurangi kualitas interaksi antara guru dan siswa. Guru tidak memiliki cukup waktu untuk memberikan perhatian individual kepada setiap siswa, yang berakibat pada kurangnya pemahaman dan dukungan yang mereka terima.
Kepadatan kelas juga menyebabkan keterbatasan dalam penerapan metode pembelajaran yang interaktif. Di kelas yang penuh sesak, guru cenderung menggunakan metode ceramah tradisional karena lebih mudah dikelola, namun hal ini mengurangi kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses belajar. Pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang seharusnya menjadi fokus dalam pendidikan modern, sering kali tidak dapat diterapkan secara optimal.
5. Kurikulum yang Belum Sepenuhnya Relevan
Kurikulum yang diterapkan di sekolah perkotaan sering kali masih belum sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan tuntutan zaman yang terus berubah. Meski sudah ada upaya dari pemerintah untuk merombak kurikulum melalui Kurikulum Merdeka yang memberi lebih banyak fleksibilitas bagi guru dan siswa, implementasinya masih belum merata. Banyak sekolah yang masih fokus pada pengajaran berbasis hafalan dan ujian, alih-alih memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreativitas, dan keterampilan kolaborasi.
Selain itu, kurikulum yang kaku sering kali tidak memberikan ruang bagi pengembangan pendidikan karakter, keterampilan sosial-emosional, serta pendidikan kewarganegaraan yang sangat dibutuhkan di lingkungan perkotaan yang penuh dengan keragaman budaya dan tantangan sosial. Pendidikan di perkotaan harus mampu menjawab kebutuhan ini dengan kurikulum yang lebih dinamis dan berorientasi pada pengembangan siswa secara holistik.
Sekolah-sekolah di perkotaan menghadapi berbagai persoalan yang unik, dari tekanan akademik yang tinggi, ketimpangan sosial, hingga tantangan dalam mengintegrasikan teknologi dan kurikulum yang belum sepenuhnya relevan. Meskipun sekolah di kota-kota besar sering kali memiliki akses yang lebih baik terhadap fasilitas dan teknologi, tantangan-tantangan tersebut membutuhkan solusi yang komprehensif. Perlu adanya kebijakan yang lebih tepat sasaran, peningkatan pelatihan bagi guru, serta pendekatan yang lebih inklusif dalam pendidikan di perkotaan agar setiap siswa, tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi, dapat memperoleh pendidikan berkualitas yang mempersiapkan mereka untuk masa depan yang lebih baik.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H