Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau dan sungai yang mengalir jernih, terdapat sebuah sekolah sederhana. Sekolah itu sudah berdiri selama puluhan tahun, melahirkan banyak generasi yang kini tersebar ke berbagai penjuru negeri. Namun, dari sekian banyak guru yang pernah mengajar di sana, ada satu yang paling dikenang oleh murid-muridnya---Pak Bagus.
Pak Bagus bukanlah guru yang biasa saja. Ia adalah sosok yang berbeda dari kebanyakan guru lain. Metode mengajarnya unik, dan yang lebih penting, ia tidak hanya mengajar dari buku, tetapi dari hati. Selalu ada kesan mendalam yang ia tinggalkan pada setiap murid yang pernah diajar olehnya.
Suatu pagi, di awal semester baru, Pak Bagus memasuki kelas dengan langkah mantap. Di tangan kirinya, ia memegang sebuah lilin. Siswa-siswa kelas lima, yang tadinya ribut, mendadak diam dan tertarik pada benda sederhana itu.
"Anak-anak," kata Pak Bagus dengan senyum ramah, "hari ini kita tidak akan mulai dengan pelajaran biasa. Saya ingin bercerita sedikit tentang sebuah filosofi yang penting dalam hidup."
Ia menaruh lilin itu di atas meja guru dan menyalakannya. Api kecil yang menyala dengan lembut mulai menerangi ruangan.
"Kalian lihat lilin ini?" Pak Bagus mulai berbicara sambil menunjuk lilin yang menyala, "Lilin ini adalah simbol dari seorang guru. Seperti lilin, seorang guru menerangi kegelapan, membantu kita melihat dengan jelas apa yang sebelumnya samar atau tidak terlihat. Tetapi, lilin itu juga terbakar perlahan-lahan, memberikan dirinya sendiri, demi menerangi sekitarnya."
Para siswa memperhatikan dengan seksama. Mata mereka tertuju pada api kecil itu, yang meskipun sederhana, menyimpan makna yang dalam.
"Namun, ingatlah," lanjut Pak Bagus, "guru bukanlah seseorang yang tugasnya mengisi kalian seperti bejana yang diisi air hingga penuh. Tidak, tugas seorang guru adalah membantu kalian menyalakan cahaya dalam diri kalian sendiri, agar kalian bisa menerangi jalan hidup kalian."
Seorang siswa yang duduk di barisan depan, Amira, mengangkat tangan. "Pak, apa maksudnya kami bukan bejana yang diisi air?"
Pak Bagus tersenyum. "Pertanyaan bagus, Amira. Bejana, seperti ember atau botol, hanya bisa menampung apa yang diberikan. Jika air dituangkan, bejana itu akan penuh, tetapi tidak akan mengubah bentuk atau sifat air itu sendiri. Kalian bukanlah bejana yang pasif. Kalian adalah makhluk yang hidup, berpikir, dan mampu tumbuh. Tugas saya bukanlah mengisi otak kalian dengan informasi sampai penuh, tetapi membantu kalian berpikir, menemukan, dan menumbuhkan pemahaman kalian sendiri. Saya hanya menyalakan cahaya kecil dalam kegelapan kalian. Cahaya itu akan tumbuh menjadi terang yang lebih besar jika kalian merawatnya."