Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Seberapa Sulit Sebenarnya Penyelesaian Perkara Korupsi di Indonesia?

15 Juli 2024   08:16 Diperbarui: 15 Juli 2024   08:16 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada era pemerintahan Joko Widodo, perjalanan kasus korupsi di Indonesia menghadapi banyak tantangan dan kritik yang tajam. Meskipun ada upaya untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menerapkan berbagai reformasi, perjalanan pemberantasan korupsi mengalami banyak hambatan. Rapor buruk ini terlihat dari beberapa kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi dan politisi yang tidak selalu diusut tuntas atau menghadapi penegakan hukum yang tegas. 

Revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 yang memperlemah kewenangan lembaga ini, mendapat banyak protes dari masyarakat dan dianggap sebagai langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi.

 Selain itu, adanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen, menteri, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri, memperkuat kesan bahwa korupsi masih mengakar kuat di berbagai lini pemerintahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada niat baik dari pemerintah, tantangan struktural dan politis yang dihadapi masih sangat besar dalam memerangi korupsi di Indonesia.

Pada era pemerintahan Joko Widodo, terdapat beberapa kasus korupsi besar yang menggemparkan dengan kerugian negara yang sangat besar. Berikut adalah beberapa di antaranya:

1) Kasus E-KTP:
Kasus korupsi ini melibatkan proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang terjadi pada periode 2011-2012. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun dari total anggaran Rp 5,9 triliun. Banyak politisi dan pejabat tinggi terlibat dalam skandal ini, termasuk beberapa anggota DPR. Kasus ini menguak praktik korupsi yang sistematis dan meluas di kalangan elit politik Indonesia.

2) Kasus Jiwasraya:
Korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 16,8 triliun. Skandal ini melibatkan manipulasi laporan keuangan dan investasi saham yang tidak wajar. Beberapa pejabat tinggi Jiwasraya dan pihak swasta terlibat, termasuk komisaris dan direksi perusahaan.

3) Kasus Asabri:
Korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 23,7 triliun. Modus operandi dalam kasus ini mirip dengan Jiwasraya, di mana terjadi manipulasi investasi dan transaksi saham yang merugikan.

4) Kasus Bansos COVID-19:
Kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 menggemparkan publik karena terjadi di tengah pandemi yang seharusnya menjadi momen untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara, diduga menerima suap dari pengadaan paket bansos. Kerugian negara diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

5) Kasus PLN dan Proyek PLTU Riau-1:
Kasus korupsi terkait proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 melibatkan sejumlah pejabat tinggi, termasuk mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir. Suap yang diterima untuk meloloskan proyek ini diduga mencapai miliaran rupiah.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan tantangan besar yang masih dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, meskipun ada upaya dari pemerintah untuk memperbaiki sistem dan menegakkan hukum. Korupsi tetap menjadi masalah serius yang mempengaruhi berbagai sektor kehidupan dan pembangunan negara.

Bagaimana Penegakkan Perkara Kasus Korupsi yang pernah Terjadi di Indonesia Selama Ini?

Penegakan perkara kasus korupsi di Indonesia selama ini menghadapi banyak tantangan dan dinamika, meskipun ada beberapa capaian penting. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai penegakan kasus korupsi di Indonesia:

1) Peran KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi):

KPK telah menjadi lembaga utama dalam penegakan hukum terhadap kasus korupsi. Sejak dibentuk pada tahun 2002, KPK telah mengungkap berbagai kasus korupsi besar dan menjerat banyak pejabat tinggi, politisi, dan pengusaha.
KPK menggunakan metode penindakan yang efektif seperti operasi tangkap tangan (OTT), penyelidikan mendalam, dan kerjasama dengan aparat penegak hukum lainnya.

2) Revisi UU KPK:

Pada tahun 2019, Undang-Undang KPK direvisi, yang menyebabkan pelemahan terhadap kewenangan KPK. Revisi ini mendapat banyak kritik karena dianggap mengurangi independensi dan efektivitas KPK dalam memberantas korupsi.
Beberapa perubahan kontroversial termasuk pembentukan Dewan Pengawas, kewajiban izin penyadapan, dan perubahan mekanisme penyidikan.

3) Penegakan Hukum oleh Kepolisian dan Kejaksaan:

Selain KPK, Kepolisian dan Kejaksaan juga memiliki peran dalam penanganan kasus korupsi. Namun, efektivitas penegakan hukum oleh kedua lembaga ini sering kali dipertanyakan karena adanya intervensi politik dan kurangnya independensi.
Ada beberapa kasus korupsi yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, tetapi tidak semua kasus berjalan dengan transparan dan tuntas.

4) Kasus-Kasus Besar yang Diungkap:

Sejumlah kasus korupsi besar telah diungkap, seperti skandal e-KTP, korupsi Jiwasraya, kasus Asabri, dan kasus bansos COVID-19. Meskipun demikian, proses hukum terhadap pelaku sering kali berjalan lambat dan tidak selalu memberikan efek jera yang signifikan.

5) Kendala dalam Penegakan Hukum:

Tantangan terbesar dalam penegakan hukum korupsi adalah korupsi itu sendiri yang sudah mengakar dalam berbagai lembaga dan struktur pemerintahan.
Adanya tekanan politik dan intervensi dari pihak yang berkepentingan sering kali menghambat proses penegakan hukum.
Kurangnya sumber daya dan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kompleksitas kasus korupsi juga menjadi kendala.

6) Peningkatan Kesadaran Publik dan Peran Masyarakat Sipil:

Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam melawan korupsi semakin meningkat, terutama melalui media sosial dan gerakan masyarakat sipil.
LSM dan organisasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam mengawasi, melaporkan, dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap korupsi.

Ragam Faktor yang Menyebabkan Kejahatan Korupsi Masih Kerap Terjadi

Kasus korupsi yang terus terjadi di Indonesia dapat dihubungkan dengan berbagai faktor dari sisi penegakan hukum. Berikut adalah beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap masalah ini:

Intervensi Politik:
Banyak kasus korupsi melibatkan politisi dan pejabat tinggi yang memiliki pengaruh besar. Intervensi politik dapat menghambat proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan, sehingga para pelaku sering kali lolos dari hukuman yang layak.

Korupsi dalam Lembaga Penegak Hukum:
Korupsi juga merajalela di kalangan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Hal ini menyebabkan kurangnya integritas dalam penanganan kasus korupsi dan memberikan ruang bagi pelaku korupsi untuk menyuap atau mengintimidasi aparat.

Kelemahan Regulasi dan Undang-Undang:
Beberapa regulasi dan undang-undang yang ada masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku korupsi. Selain itu, perubahan regulasi yang melemahkan kewenangan lembaga antikorupsi seperti KPK, juga memperburuk situasi.

Ketidakcukupan Sumber Daya:
Lembaga penegak hukum sering kali kekurangan sumber daya baik dalam hal personel, teknologi, maupun dana. Ini menghambat kemampuan mereka untuk melakukan penyelidikan yang mendalam dan komprehensif terhadap kasus-kasus korupsi yang kompleks.

Budaya dan Norma Sosial:
Di beberapa kalangan, korupsi telah menjadi bagian dari budaya dan dianggap sebagai cara biasa untuk menjalankan bisnis atau memperoleh keuntungan. Norma sosial yang permisif terhadap korupsi membuat pemberantasan korupsi menjadi lebih sulit.

Kurangnya Perlindungan untuk Pelapor dan Saksi:
Pelapor (whistleblower) dan saksi sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari intimidasi atau balas dendam. Hal ini mengurangi keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus korupsi.

Proses Hukum yang Lambat dan Berbelit:
Proses hukum yang panjang dan birokratis sering kali mengakibatkan penundaan dalam penyelesaian kasus korupsi. Ini juga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memanipulasi sistem dan menghindari hukuman.

Kurangnya Penegakan Hukum yang Konsisten:
Penegakan hukum yang tidak konsisten, di mana beberapa kasus ditangani dengan serius sementara yang lain diabaikan atau diperlakukan dengan lunak, menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan memberikan sinyal bahwa korupsi dapat diterima.

Tekanan dari Kelompok Kepentingan:
Kelompok kepentingan yang kuat, termasuk perusahaan besar dan jaringan politik, sering kali memberikan tekanan kepada aparat penegak hukum untuk tidak mengusut atau menghentikan kasus korupsi yang melibatkan mereka.

Pendidikan dan Kesadaran Hukum yang Rendah:
Tingkat pendidikan dan kesadaran hukum yang rendah di kalangan masyarakat juga berkontribusi terhadap tingginya kasus korupsi. Masyarakat yang tidak memahami hak dan kewajibannya cenderung kurang kritis dan tidak proaktif dalam melaporkan atau mencegah korupsi.

Penanganan masalah ini memerlukan reformasi menyeluruh dan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat luas.

#SalamLiterasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun